IDI Desak Pemerintah Revisi UU Pendidikan Kedokteran
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof Marsis Oetama mendesak pemerintah untuk segera merevisi Undang-Undang (UU) Pendidikan Kedokteran. Karena UU tersebut kurang mengakomodir percepatan produksi dokter spesialis dan subspesialis.
"Saat ini kita butuh banyak sekali dokter spesialis dan subspesialis. Jika tidak peluang itu akan diisi dokter-dokter asing," kata Prof Marsis dalam dialog awal tahun seputar pendidikan kedokteran Indonesia, di Jakarta, Rabu (11/1).
Pembicara lain adalag Wakil Ketua Badan Legislasi DPR-RI, Arif Wibowo, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Prof Bambang Supriyatno dan Ketua IDI bidang Pendidikan Kedokteran Masa Kini dan Mendatang.
Prof Marsis menyebut jumlah dokter spesialis di Indonesia saat ini ada sebanyak 26.896 orang. Maka rasio dokter spesialis dengan jumlah penduduk adalah 1 dokter berbanding 10 ribu orang.
"Sebenarnya rasio ini masih terbilang ideal. Namun, masalahnya sekarang adalah kebanyakan dokter spesalis itu praktik di kota-kota besar. Untuk itu, hal yang harus dibenahi pemerintah adalah soal distribusi dokternya," ucap dokter spesialis kandungan tersebut.
Prof Marsis menyayangkan kekurangan dokter spesialis di daerah justru ditanggapi pemerintah dengan membuat program studi dokter layanan primer (DLP). Mengingat kompetensi yang ditawarkan pada prodi DLP tak jauh berbeda dengan dokter umum.
"Sekarang ini sudah eranya dokter subspesialis, tak lagi spesialis. Kompetensinya lebih detil. Karena itu disayangkan anggaran yang mencapai Rp10 triliun itu justru untuk penyelenggaraan DLP yang kompetensinya mirip dengan dokter umum," ujar Prof Marsis.
Hal senada dikemukakan Ketua IDI bidang Pendidikan kedokteran Masa kini dan Mendatang, Muhamad Akbar. Menurutnya,
DLP harus berbeda dengan dokter keluarga dan dokter umum yang ada saat ini.
"Jika DLP mengambil 80 persen kompetensi Dokter Keluarga maka hal itu adalah pelanggaran terhadap amanat putusan MK," ucap Akbar menegaskan.
Sementara itu, Arif Wibowo mengungkapkan adanya tumpang tindih regulasi pendidikan kedokteran antara Undang- Undang (UU) No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dengan 3 UU lainnya.
"Tiga UU lainnya itu adalah UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi," ucap anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan itu.
Menurutnya, tumpang tindih itu terkait dengan pengaturan jenis profesi kedokteran, kewenangan profesi, organisasi profesi dan standar pendidikan kedokteran.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR-RI, Arif Wibowo memaparkan politik legislasi terkait dengan usulan perubahan UU No 20 tahun 2013. Karena perubahan UU tak semata proses prosedural penyusunan suatu rancangan Undang-Undang, melainkan suatu proses pertarungan ideologi dan politik, bahkan kepentingan fragmatis.
"Apalagi UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran adalah salah satu peraturan yang bersifat fragmentatif, sektoral dan pragmatis. Selain menimbulkan potensi konflik hukum maupun konflik sosial dunia kedokteran.
Kendati demikian, Arif menambahkan, perubahan UU No 20 Tahun 2013 itu telah masuk dalam daftar program legilasi nasional (proglenas) 2015-2019.
Proglenas 2017ada 50 RUU disertai 12 RUU daftar antrian termasuk salah satunya RUU Perubahan Atas UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
Untuk itu, Arif meminta pada IDI agar menyiapkan bahan masukan yang dapat difahami para pengambil keputusan. Selain memetakan dan mengkomunikasikan bahan masukan tersebut kepada fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah.
"Dan yang tak kalah penting adalah IDI perlu bekerja sama dengan para pihak yang memiliki kekuatan strategis agar revisi UU No 20 tahu 2013 bisa tercapai," kata Arif menandaskan. (tri wahyuni)
{jcomments on}