Kemkes Adopsi Program EMAS Cegah Kematian Ibu dan Bayi
Kementerian Kesehatan akan mengadopsi program EMAS (Expanding Maternal and Neonatal Survival) yang dikembangkan lembaga bantuan Amerika, USAID dalam 5 tahun belakangan ini. Program tersebut untuk menekan angka kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia.
"Program EMAS sudah selesai tahun ini, tapi selanjutnya akan diadopsi untuk daerah lain," kata Direktur Kesehatan Keluarga Kemenkes, Eni Gustina dalam keterangan pers, di Jakarta, Jumat (10/3).
Eni menjelaskan, program EMAS sebelumnya dilaksanakan organisasi nirlaba internadional, Jhpiego dibantu sejumlah organisasi seperti Muhammadiyah, Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan (LKBK), Save The Children dan RTI. Program didanai USAID hingga 55 juta dolar selama 5 tahun.
Program melibatkan 150 rumah sakit dan 300 Puskesmas yang tersebar di 30 kabupaten di 6 provinsi yang selama ini memiliki angka kematian ibu dan bayi yang tinggi. Disebutkan, Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
"Hampir 70 persen kasus kematian ibu dan 75 persen kematian bayi baru lahir di Jawa dan Sumatera disebabkan oleh hal-hal yang sebenarnya bisa dicegah dengan perbaikan sistem," ujarnya.
Eni mengutip data badan kesehatan dunia WHO 2010 yang menyebutkan ada 66 ribu bayi baru lahir meninggal setiap tahun di Indonesia. Bulan pertama kehidupan adalah yang paling berbahaya. Faktanya, 60 kematian bayi terjadi dalam bulan pertama kehidupan.
Untuk angka kematian ibu, Eni mengemukakan, ada 8.800 kasus setiap tahunnya. Angka kematian ibu akibat melahirkan di Indonesia sebesar 359 per 100 ribu merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Angka itu cenderung meningkat dibanding Filipina (99), Vietnam (59), Malaysia (48) dan Thailand (29).
Masih tingginya angka kematian ibu dan bayi, menurut catatan WHO, sebagian besar akibat layanan kegawatdaruratan yang dibawah standar, bahkan saat di fasilitas kesehatan. Selain adanya kesenjangan indikator pelayanan kesehatan ibu dan bayi di Indonesia.
Upaya perbaikan hanya dapat dicapai, dengan cara meningkatkan kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan, koordinasi yang lebih baik antara penyelia layanan kesehatan pemerintah dan swasta. Serta antara masyarakat dan rumah sakit, terutama selama keadaan gawat darurat.
"Selain itu, perlunya mengurangi hambatan dalam akses pembiayaan dalam pelayanan kesehatan. Masalah ini sebenarnya sudah bisa diselesaikan oleh program JKN, tapi belum semua masyarakat menjadi peserta JKN," kata Eni menandaskan. (TW)