Program Ketuk Pintu TB Kemkes Raih Penghargaan MURI
Program Ketuk Pintu untuk menemukan kasus tuberkolusis (TB) yang digagas Kementerian Kesehatan (Kemkes) meraih penghargaan Museum Rekor Indonesia (MuRI). Program tersebut dinilai memiliki kegiatan ketuk pintu terbanyak hingga mencapai 500 ribu rumah.
"Lewat penghargaan MuRI, saya ingin program ketok pintu dapat terus digalakkan. Agar makin banyak penduduk dengan TB bisa diobati dengan tepat," kata Menteri Kesehatan, Nila FA Moeloek usai menerima penghargaan dari Ketua Umum MuRI, Jaya Suprana dalam puncak peringatan Hari TB Dunia, di Jakarta, Sabtu (1/4).
Menkes menjelaskan, program Ketuk Pintu TB yang dicanangkan Presiden Jusuf Kalla pada 2015 lalu dilakukan untuk menemukan penderita TB secara lebih detil. Karena dilakukan dengan cara mengetuk rumah warga satu per satu.
"Ketuk pintu merupakan salah satu cara aktif menemukan kasus TB di masyarakat," ujarnya.
Terkait penghargaan MuRI, lanjut Menkes, kegiatan Ketuk Pintu dilaksanakan serentak di 34 Provinsi pada 6-20 Maret 2017 oleh para kader kesehatan dibantu lembaga swadaya masyarakat (LSM), tenaga kesehatan dan organisasi masyarakat. Tercatat ada 565.798 rumah warga yang berhasil diketuk.
"Dari ketuk pintu itu, dari 1.590.529 orang yang ditemui ada 91.049 orang yang diduga TB. Setelah diskrining lebih ada 4.950 orang yang terkonfirmasi TB," ujar Nila Moeloek.
Capaian itu telah memecahkan rekor ketuk pintu yang ditargetkan MuRI sebanyak 500.000 rumah. Hasil itu juga menggambarkan bahwa insidens TB dari populasi Ketuk Pintu sebesar 331/100 ribu penduduk.
"Bila dibandingkan dengan data WHO Global Report 2016 sebesar 395/100 ribu, maka pendekatan yang dipergunakan dengan Ketuk Pintu sangat efektif untuk capaian Case Detection Rate (CDR) di atas 70 persen," tuturnya.
Menkes menegaskan, pengobatan TB hingga tuntas menjadi penting karena jika pasien sudah resisten terhadap obat yang ada, proses penyembuhannya akan semakin sulit. Jika demikian, hal itu akan menghambat program eliminasi TB di Indonesia.
"Pengobatan TB resisten obat memakan waktu lama, menimbulkan berbagai efek samping, serta memerlukan biaya yang berlipat ganda dibanding pengobatan TB sensitif obat," ujarnya.
Selain itu, lanjut Menkes, beban sosial ekonomi pasien, keluarga, masyarakat dan negara juga meningkat bila jumlah pasien kebal obat TB semakin banyak. "Kami berharap rata-rata keberhasilan pengobatan TB yang selama ini sudah 90 persen dapat ditingkatkan. Sehingga rantai penularan TB terputus," katanya.
Pada kesempatan yang sama diluncurkan aplikasi Wajib Notifikasi TB (WiFi TB) untuk para dokter praktik mandiri dan klinik pratama. Lewat aplikasi itu, para dokter akan menyampaikan notifikasi kepada dinas kesehatan setempat.
"Aplikasi ini diharapkan menjadi terobosan dalam sistem pelaporan kasus TB," kata Menkes seraya menambahkan aplikasi tersebut bisa diunduh dari application store yang ada di smartphone. (TW)
{jcomments on}