IDI Luncurkan Buku Putih Tolak Prodi DLP
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia meluncurkan buku putih, yang berisi sejumlah alasan ilmiah dibalik penolakan program studi (prodi) dokter layanan primer (DLP). Buku tersebut akan diberikan ke pemerintah sebagai bahan masukan.
"Kami berharap pemerintah meninjau ulang keberadaan prodi DLP, agar tak ada anggaran yang terbuang sia-sia," kata Ketua Umum, Prof Ilham Oetama Marsis dalam siaran pers, di Jakarta, Jumat (28/4).
Dalam buku tersebut, Prof Marsis memaparkan sejumlah fakta ilmiah dibalik penolakan IDI atas ide pembentukan prodi DLP. Misalkan, asumsi yang menyebut tingginya rujukan di rumah bisa diatasi melalui program DLP ternyata tidak didukung oleh data.
"Jika merujuk pada data nasional rujukan peserta BPJS Kesehatan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) baik pada 2015 maupun 2016 angkanya masih 12 persen. Masih dibawah rasio patokan BPJS sebesar 15 persen," tuturnya.
Menurut Prof Marsis, rujukan tertinggi yang terjadi di daerah tertentu lebih disebabkan faktor kurangnya sarana dan prasarana. Selain juga karena masih rendahnya kapitasi, dibanding biaya pelayanan. Akibatnya, pasien banyak yang beralih status pembayarannya menjadi "fee for service" atas permintaan sendiri.
Terkait defisit anggaran BPJS Kesehatan dalam dua tahun terakhir, Prof Marsis menyebut, hal itu lebih disebabkan penetapan nilai fundamental premi yang tidak sesuai dengan nilai keekonomiannya. Selain beban biaya atas penyakit katastropik yang menguras 30 persen dari total anggaran BPJS Kesehatan.
"Penyakit katastropik timbul karena upaya kesehatan masyarakat yang belum berjalan, bukan akibat ketidakmampuan dokter di FKTP," ucap Prof Marsis menegaskan.
Tak hanya menolak, PB IDI menawarkan solusi yang bisa dilakukan pemerintah terkait masalah yang ada. Antara lain, perlunya penambahan kompetensi pada dokter umum yang dilakukan melalui modul terstruktur seperti program pendidikan kedokteran berkelanjutan (P2KB) seperti dilakukan selama ini.
"Pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan diri pada perbaikan fakultas kedokteran, terutama mereka yang akreditasinya masih B dan C. Hal itu lebih hemat, ketimbang pemerintah menggunakan tenaga lulusan ahli kesehatan masyarakat untuk memperkuat fungsi promotif dan preventif.
“Pemerintah perlu memperbanyak kerja sama dengan klinik dan dokter pribadi swasta. Agar fasilitas kesehatan yang tersedia semakin banyak, sehingga antrian saat berobat semakin pendek," katanya.
Selain itu IDI juga mengusulkan reformasi pendidikan kedokteran melalui subsidi biaya pendidikan, rekrutmen calon dokter, proses pendidikan yang membuat dokter terbiasa bekerja di pedesaan. Perlu ditetapkan seberapa lama pendidikan dokter agar lebih efisien, bukan malag memperpanjang masa pendidikan.
"IDI juga mengusulkan agar pemerintah memperbaiki sarana dan prasarana FKTP milik pemerintah danmenaikkan biaya kapitasi sehingga kualitas pelayanan menjadi lebih baik," ujar Prof Marsis.
Bagi perguruan tinggi yang ingin mengembangkan karir dokter lebih baik, menurut Prof Marsis, sebaiknya mengembangkan program spesialis kedokteran keluarga.
Ditambahkan, PB IDI akan mengajukan revisi UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, agar masalah ketidakharmonisan ini bisa diselesaikan. "Saat ini revisi atas UU tersebut telah masuk dalam Prolegnas 2015-2019 sebagai usulan dari DPR RI," kata Prof Marsis menandaskan. (TW)
{jcomments on}