Perlunya Revisi Iklan Rokok, Guna Tekan Angka Perokok Muda
Epidemi konsumsi rokok di Indonesia belakangan ini telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Lebih dari sepertiga atau 36,3 persen penduduk Indonesia dikategorikan sebagai perokok. Dengan usia termuda 5-14 tahun sebesar 0,21 persen.
"Meski angkanya sangat kecil, data perokok usia sangat muda itu tak bisa diabaikan," kata Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Dedi Kuswenda di Jakarta, Jumat (12/5) terkait peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia pada 21 Mei 2017.
Perokok remaja usia 13-15 tahun, disebutkan, ada 20 persen. Dari jumlah itu, 41 persen diantaranya remaja laki-laki dan 3,5 persen remaja perempuan. "Remaja tergiur merokok karena melihat iklan di media massa dan televisi. Untuk itu, perlu adanya revisi terkait dengan peraturan iklan rokok," ucapnya.
Kondisi ini, lanjut Dedi Kuswenda, membuat badan kesehatan dunia WHO menempatkan Indonesia sebagai pasar rokok tertinggi ketiga di dunia, setelah China dan India. Prevalensi perokok laki-laki dewasa di Indonesia, bahkan menduduki paling tinggi didunia sebesar 68,8 persen.
Hal senada dikemukakan Ketua Tobacco Control Support Center, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Sumarjati Arjoso. Masalah rokok harus mendapat perhatian serius karena dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.
"Rokok merupakan faktor risiko utama Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti kanker, jantung dan pembuluh darah serta penyakit paru obstruktif kronis," ujar mantan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) itu.
Ditambahkan, kebiasaan merokok di Indonesia telah membunuh setidaknya 235 ribu jiwa setiap tahunnya. Selain juga biaya pengobatan yang cukup besar. Pada 2014, disebutkan ada 4,8 juta kasus penyakit jantung dengan dana klaim Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar Rp8,1 triliun dan 894 ribu kasus penyakit kanker (Rp2 triliun).
"Pada 2015, jumlah kasus menurun menjadi 3,9 juta kasus penyakit jantung dengan klaim BPJS Kesehatan Rp5,4 triliun dan 724 ribu kasus kanker dengan klaim Rp1,3 triliun," katanya.
Atas dasar itu, menurut Sumarjati Arjoso, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa PTM sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain menurunkan kualitas generasi muda yang menghambat laju pembangunan bangsa.
"Masuknya isu pengendalian tembakau dan penanggulangan PTM ke dalam indikator pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) seharusnya menjadi program tersebut menjadi prioritas pembangunan," kata Sumarjati menandaskan. (TW)
{jcomments on}