Peliknya Penyediaan Obat Hepatitis C yang Terjangkau Publik
Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk di Indonesia.
Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI pada 2013 mengungkap data lebih dari 1,01 persen penduduk Indonesia, atau 3 juta orang terinfeksi Virus Hepatitis C. Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki berusia antara 20-40 tahun.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pengobatan standar hepatitis C merupakan gabungan interferon dengan ribavirin yang dipakai selama 48 minggu.
Sayangnya, kombinasi ini menimbulkan efek samping seperti depresi, neutropenia, trombositopenia, anemia, kelelahan, demam, sakit kepala, dan nyeri otot. Selain itu, kombinasi obat ini memiliki 45 persen tingkat kesembuhan.
Kemajuan yang dicapai pada terapi hepatitis C kronik adalah penemuan Direct Acting Antivirals (DAA). Obat-obatan dalam golongan DAA memiliki tingkat tanggapan virologi berkelanjutan yang lebih baik terhadap HCV dengan angka kesembuhan diatas 90%.
Saat ini ada beberapa inisiasi dilakukan agar obat DAA tersedia di Indonesia. Salah satunya, melalui pengadaan obat program Kementerian Kesehatan atau donasi perusahaan farmasi.
Namun, menurut Edo Agustian, Koordinator Nasional PKNI, pengadaan obat ini dirasa masih lambat.
“Hambatan lain adalah mahalnya biaya tes dan diagnosa untuk pengobatan Hepatitis C,” tambah Edo.
Salah satu program pemerintah untuk mengobati 6000 pasien dengan menggunakan DAA jenis Sofosbuvir, Simeprevir, dan Ribavirin tidak dapat sepenuhnya diterapkan.
Menurut hasil pemantauan Hepatitis C oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun 2007-2012, 27,5 persen dari pengidap Hepatitis C di Indonesia adalah pengguna napza suntik.
Sementara itu, obat DAA jenis simeprevir tidak dapat digunakan bersamaan dengan obat-obatan HIV yang umum digunakan untuk pengobatan pada orang yang hidup dengan HIV di Indonesia karena terdapat kontradiksi.
“Sebenarnya ada obat jenis DAA yang bisa bekerja pada setiap jenis tipe virus (pan-genotipe) yaitu jenis Daclastavir yang juga bisa dipakai untuk oleh pasien hepatitis C dengan koinfeksi HIV. Namun, proses pendaftaran Daclatasvir di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berjalan sangat lambat,” kata Caroline Thomas, Program Manajer PKNI.
Itu sebabnya pemerintah diharapkan dapat mempercepat proses pengadaan obat DAA ini.
"Obat-obatan DAA untuk Hepatitis C penting untuk penanggulangan penyakit Hepatitis C di Indonesia, dan sudah selayaknya obat ini menjadi obat yang ditanggung oleh asuransi negara, BPJS. Oleh karena itu kami mendorong obat jenis DAA untuk Hepatitis C masuk dalam Formularium Nasional agar obat jenis ini dapat diakses masyarakat luas dengan mudah dan murah." ujar dr. Irsan Hasan, Sp.PD-KGEH yang bertindak sebagai Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI.) (SYS)