Gizi buruk dan campak melanda Asmat, pemerintah dituntut gerak cepat
Campak dan gizi buruk kembali melanda anak-anak Papua. Pada Desember lalu, 13 orang dilaporkan meninggal, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak.
Uskup Aloysius Murwito dari keuskupan Agats-Asmat menceritakan pengalamannya berhadapan dengan anak-anak dengan kondisi minim gizi di wilayah tersebut.
Kondisi ini ditemukan tim keuskupan Agats saat kegiatan pelayanan Natal pada bulan lalu di Kampung As dan Kampung Atat, distrik Pulau Tiga. Menurutnya, kondisi anak-anak sangat memprihatikan dengan kondisi fisik yang sangat kurus.
"Saya lebih tersentak pada waktu pesta Natal lalu saya merayakan ibadah Natal di kampung As (dan) Atat. Di kampung As (dan) Atat ternyata saya menyaksikan anak-anak yang kurang gizi banyak, kurus-kurus, kemudian pada suatu waktu ada orang yang mati dan kemudian saya pergi ke situ, layat, doa, dan kemudian dapat info dari bapak kepala kampung, bahwa bulan Desember ada 13 orang yang meninggal dan sebagian besar anak-anak," ujar Aloysius kepada BBC Indonesia, Minggu (14/01).
Selain problem kekurangan gizi, juga terjadi kejadian luar biasa (KLB) campak di lima distrik di Kabupaten Asmat.
Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan, Elizabeth Jane Soepardi, mengakui imunisasi yang belum optimal dan kurangnya tenaga medis diperkirakan menjadi penyebab cepat merebaknya wabah di wilayah paling timur Indonesia tersebut.
"SDM-nya masih sangat kurang di sana. Sehingga karena SDM sangat kurang, akibatnya kegiatannya menjadi tidak rutin itu yang menyebabkan ada penumpukan anak-anak yang tidak diimunisasi. Satu kasus saja masuk, langsung menyebar," tutur Jane.
Mewabahnya campak dan kasus gizi buruk yang menimpa suku Asmat mendapat perhatian banyak pihak.
Komisioner Bidang Kesehatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Siti Hikmawati, menuntut pemerintah untuk gerak cepat mengatasi wabah tersebut.
"Kita tidak bisa mengharapkan (pemerintah) pusat tapi kita butuh integrasi, dalam hal itu kita butuh melaksanaan sesuatu di sana, jangan sampai menunggu lebih besar lagi skalanya. Harus segera ditangani, intervensi langsung kalau menunggu (pemerintah) daerah lama, (pemerintah) pusat ambil tindakan."
Aloysius menuturkan jumlah korban bertambah seiring data terbaru yang dikumpulkan oleh Dinas Kesehatan Asmat.
"Data yang saya peroleh 13 orang. Lalu di-cross check oleh Dinas menjadi 24 (orang meninggal)."
Kebanyakan dari korban, meninggal sebelum sempat dilarikan ke rumah sakit. Pasalnya, jarak antara Kampung As dan Atat dengan Agats, ibu kota Asmat, hanya bisa menggunakan transportasi air dengan waktu tempuh sekitar tiga jam jika menggunakan speed boat.
"Maka orang kampung bisa jadi bermalam di jalan. Karena itu meninggal kebanyakan ada di kampung."
Lalu apa yang menyebabkan kondisi kekurangan gizi ini di Asmat?
Menurut Aloysius, kondisi geografis di wilayah itu sudah tentu menjadi tantangan utama. Di sisi lain, mutu kesehatan di Asmat juga rendah.
"Mutu pelayanan kesehatan pada umumnya rendah. Kami menyadari dari pihak gereja sendiri, dalam refleksi kami, itu sudah kami temukan pelayanan kami juga rendah. Misalnya saja, di As Atat ini sudah beberapa bulan petugas pustu (puskesmas pembantu) tidak ditempat. "
"Itu bukan lagu baru, tapi sudah lagu lama. Dedikasi dari petugas itu lemah," imbuhnya.
Di sisi lain, Kejadian Luar Biasa (KLB) campak pula terjadi di lima distrik di kabupaten Asmat, yaitu Swator, Fayit, Pulau Tiga, Jetsy dan Siret.
Pemerintah Kabupaten Asmat kemudian menerjunkan tim ke lima distrik yang terserang KLB campak dan kekurangan gizi. Selain memberikan vaksin, tim juga memberikan bantuan makanan tambahan bagi warga, terutama bayi dan anak-anak.
Sementara itu, Komisioner Bidang Kesehatan KPAI Siti Hikmawati menuturkan, ekspedisi yang dilakukan timmnya di pedalaman Papua pada Oktober lalu menemukan kekurangan gizi yang kronis menjadi permasalahan utama di wilayah itu.
"Terkait dengan adanya kasus campak ini, dengan melihat temuan pada bulan Oktober kemarin, itu sudah sangat berkorelasi ya, karena dengan masalah gizi yang cukup banyak, datang penyakit sedikit saja, maka akan bisa menjadi mewabah karena kondisi gizinya cukup buruk di situ," kata dia.
Minimnya tenaga medis ini diamini oleh Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian kesehatan Elizabeth Jane Soepardi. Maka dari itu, ke depan Kementerian Kesehatan akan menugaskan tim dari pusat untuk ditugaskan di wilayah pedalaman.
"Kami dari Kementerian Kesehatan merencanakan untuk menempatkan tenaga-tenaga pusat secara bergantian supaya ada kesinambungan. Selama ini kan kita selalu turun, lalu kembali dan tidak ada yang ditinggal. Ke depan kita merencanakan akan ada tim yang bergantian disana supaya nyambung terus, sampai tim di daerah mampu," ujarnya.
sumber http://www.bbc.com/