Indonesia Bebas TB, Mampukah Kita?
Oleh: Bd. Rizqie Putri Novembriani, S.Keb
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Pada bulan April lalu, seluruh dunia, termasuk Indonesia, telah memperingati Hari Kesehatan Sedunia. Tahun ini, tema yang diangkat oleh WHO adalah “Health for All”, yang bertujuan untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat dan didukung melalui pelaksanaan Universal Health Coverage (UHC). Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah dilaksanakan pemerintah Indonesia sejak tahun 2014 merupakan salah satu bentuk penerapan UHC tersebut. Salah satu masalah kesehatan global dan nasional yang termasuk dalam fokus pelayanan JKN adalah tuberkulosis atau yang biasa dikenal dengan TB atau TBC.
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis dan paling sering menyerang paru-paru. Orang dengan TB paru dapat menyebarkan kuman-kuman ini di udara melalui percikan dahak ketika mereka bersin, batuk, ataupun meludah. Proses penularan yang sangat mudah inilah yang membuat seseorang dapat terinfeksi TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman TB yang ada di udara. Umumnya, TB diderita oleh orang dewasa di usia produktif. Akan tetapi, pada dasarnya semua kelompok usia memiliki risiko yang sama untuk menderita TB. Risiko ini semakin besar pada mereka dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah, seperti anak-anak, penderita HIV, dan perokok.
Gejala dari TB yaitu berupa batuk berdahak selama dua minggu atau lebih, batuk disertai darah, nyeri dada, berkeringat pada malam hari, dan penurunan berat badan secara drastis. Pada awal infeksi, gejala yang dirasakan mungkin bersifat ringan, sehingga menyebabkan banyak orang terlambat memeriksakan diri dan mendapat pengobatan. Padahal, TB merupakan penyebab kematian tertinggi ke-9 di dunia, menduduki peringkat di atas HIV. Begitu pula di Indonesia, di mana TB menempati posisi sebagai salah satu dari tujuh penyakit yang mematikan.
Pada tahun 2016, World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa 87% temuan kasus TB baru terdapat di 30 negara dengan beban TB tinggi. Enam puluh empat persen di antaranya ditemukan di tujuh negara, yaitu India, Indonesia, Cina, Filipina, Pakistan, Nigeria, dan Afrika Selatan. Dengan jumlah penduduk sekitar 261 juta jiwa, WHO melaporkan adanya satu juta kasus TB baru di Indonesia. Angka tersebut merupakan jumlah perkiraan penderita TB baru, sedangkan di luar sana masih banyak sekali kasus TB lama yang belum berhasil disembuhkan, atau bahkan yang belum terjaring sama sekali. Memang, setiap tahunnya jumlah temuan kasus TB semakin menurun, akan tetapi penurunan ini berlangsung sangat lambat. Oleh sebab itu, pemerintah dan masyarakat perlu bergerak cepat agar target Indonesia Bebas TB tahun 2030 dapat terealisasi.
Belum selesai dengan angka kesakitan dan kematian TB yang masih tinggi, ada ancaman lain yang menghantui, yaitu TB Multidrug-Resistant (TB-MDR). TB-MDR adalah istilah yang digunakan untuk kuman TB yang kebal terhadap dua jenis obat lini pertama yang diketahui paling ampuh, isoniazid dan rifampisin. Sebenarnya, TB-MDR ini dapat disembuhkan. Namun, pengobatannya tidak sesederhana pengobatan untuk TB biasa. Pilihan obat untuk TB-MDR masih terbatas dan perlu disertai dengan kemoterapi dengan obat-obatan yang mahal dan memakan waktu yang lama. Pada beberapa kasus, TB-MDR dapat berkembang menjadi lebih berat, yaitu ketika kuman TB tidak lagi merespon dengan obat-obatan lini ke-2. Jika pasien sudah berada dalam situasi ini, maka mereka tidak punya pilihan pengobatan lagi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2015, merilis daftar 30 negara dengan beban TB tinggi (high burden country) dan dibagi dalam tiga kategori, yaitu menurut jumlah kasus TB, TB-MDR, dan TB pada penderita HIV. Celakanya, Indonesia adalah salah satu negara dengan beban TB tinggi yang termasuk dalam ketiga kategori tersebut. Di Indonesia, kekebalan kuman TB terhadap antibiotik umumnya terjadi sebagai akibat dari penanganan yang kurang tepat. Penanganan yang kurang tepat tersebut sering disebabkan karena ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan, berupa penghentian pengobatan sebelum waktu yang ditentukan ataupun tidak teratur dalam konsumsi obat.
Sejatinya, masyarakat memiliki peran yang sangat besar untuk mencegah perkembangan TB menjadi TB-MDR. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk melindungi diri dari TB, di antaranya dengan konsumsi makanan bergizi, olahraga, dan tidak merokok. Di samping itu, masyarakat juga dapat berkontribusi dalam menemukan kasus TB baru, yaitu dengan melakukan pemeriksaan secara dini. Hal ini perlu menjadi perhatian, sebab banyak kasus TB yang tidak segera terdeteksi karena pasien terlambat memeriksakan diri. Akibatnya, pengobatan menjadi tertunda dan tanpa disadari mereka telah menularkan penyakit tersebut pada orang-orang di sekitarnya.
Ada satu hal penting lain yang sering terlupakan, yaitu membantu mengawasi pasien TB dalam menjalani pengobatan. Apabila ada kerabat kita yang menderita TB, kita wajib meyakinkan mereka bahwa mereka bisa sembuh denganmeminum obat secara teratur dan tuntas. Sebab, konsumsi obat yang tidak teratur dan tidak tuntas menimbulkan peluang terjadinya mutasi genetik pada kuman TB dan membuat kuman tersebut menjadi kebal dengan obat-obatan yang ada. Lebih lanjutnya, kemungkinan pasien-pasien TB untuk sembuh akan semakin kecil. Dengan masih banyaknya pasien TB yang belum disembuhkan, maka penularan di dalam masyarakat akan terus terjadi.
Tentu kita tidak ingin terus-menerus berada di bawah bayang-bayang masalah TB. Pemerintah mutlak bertanggung jawab untuk menjamin kesehatan warganya dengan menyediakan fasilitaspelayanan kesehatan terbaik. Akan tetapi, upaya pemerintah tidak akan ada artinya apabila tidak didukung oleh perubahan perilaku masyarakat. Masyarakat perlu lebih peduli dengan lingkungan sekitar dan sadar akan pentingnya komitmen bersama untuk memutus rantai penularan TB. Mewujudkan Indonesia bebas dari TB tidaklah sulit, apabila pemerintah dan masyarakat mampu berjalan bersama dan melaksanakan tugas sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
http://www.depokpos.com/arsip/2018/05/indonesia-bebas-tb-mampukah-kita/