Indonesia Sehat Terkendala Pelayanan di Bawah Standar
Kendati sudah berjalan lima tahun, sistem jaminan kesehatan nasional yang dikenal dengan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan terus menyisakan pekerjaan rumah, antara lain soal pelayanan kepada pasien.
Menurut Dokter Enozthezia Xynta, hal itu terjadi karena tenaga kesehatan seolah dipaksa untuk memberikan layanan sesuai budget yang diberikan BPJS Kesehatan.
“Sebetulnya bukan dokter yang memberikan pelayanan di bawah standar, tapi memang aturan yang diterapkan BPJS,” jelas dokter anestesi ini dalam keterangan yang diterima Gatra.com, Rabu (31/19).
Dokter yang pernah menulis surat terbuka untuk Presiden Jokowi tentang rasa kecewanya terhadap pelaksanaan BPJS Kesehatan ini mencontohkan, operasi caesar sebelum ada BPJS berkisar di angka Rp 6 juta. Saat ini, dengan diterapkan BPJS, pasien membayar Rp 4,3 juta.
“Kita (dokter) terkurung dengan harga yang sudah ditetapkan,” ujarnya.
Masih menurut Eno, jika biaya yang dikeluarkan lebih dari apa yang sudah diatur BPJS, biasanya rumah sakit atau dokter yang bersangkutan harus menanggungnya.
“Jasa dokternya lah yang dipotong dan kadang jasa visit kita nggak dihitung,” katanya.
Ini salah satu penyebab pelayanan menjadi sub standart. Padahal, lanjut Eno, untuk dokter umum di poliklinik misalnya, jasa dokter dan sebagainya hanya dibayar Rp10.000.
Memang ada Peraturan Presiden (Perpres) No 82 Tahun 2018 yang menyebutkan bahwa pasien bisa membayar tambahan dari pelayanan yang diberikan oleh BPJS. Namun menurut Eno, ini menjadi masalah baru.
Pertama, ada resiko dokter akan dilaporkan. Kedua, dokter akan ditegur oleh BPJS dan ketiga, tentu masyarakat akan memandang profesi dokter menjadi hina. “Kita tidak akan mengambil resiko itu,” ujar Eno.
Perlakuan sub standart ini bukan hanya dalam sisi pelayanan tapi juga pemberian obat yang cenderung under treatment. Ada yang disebut Formulariom Nasional (Fornas), daftar obat yang secara empirik diperlukan oleh masyarakat di Indonesia.
Hasbullah Thabrany, mantan guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI (Universitas Indonesia), menjelaskan bahwa Fornas ini mendaftar lebih dari 1.000 kemasan obat dalam segala bentuk. “Ini isinya adalah obat essential. Obat semua penyakit sudah ada di situ,” jelasnya.
Namun, tidak ada merk dagang obat yang tercantum di dalam fornas. Jadi, rumah sakit dan dokter dipersilakan untuk memberikan merknya. Dengan e-catalogue saat ini, membuat industri farmasi bersaing ketat.
“Bahkan ada yang banting harga untuk mendapatkan kontrak,” katanya. Perilaku banting harga gila-gilaan ini diikuti dengan ketidakmampuan industri itu untuk menyuplai obat. “Akibatnya obat tidak tersedia meski dengan harga yang wajar,” ujarnya.
Sementara itu, Kuntjoro Adi Purjanto, Ketua Umum Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) menjelaskan bahwa rumah sakit (RS) di Indonesia sudah berbenah diri sejak lama. Penolakan pasien pun hingga saat ini sudah hampir tidak ada.
“Sekarang sudah termitigasi dengan baik tanpa pandang bulu selama sumber dayanya tersedia,” jelasnya.
Kuntjoro juga membantah perilaku under treatment RS terhadap pasien. Memang, kata Kuntjoro, potensi untuk under treatment cukup besar. “Bagaimana kalau obatnya tidak ada? Bayar obat nggak bisa,” katanya.
Ada beberapa RS yang berpotensi melakukan keterlambatan pembayaran obat. Jika demikian, distributor dan industri obat akan terkunci secara computerized. “Dia nggak bisa mengeluarkan barang dari gudangnya meski pemiliknya punya niat membantu rumah sakit,” ujarnya.
Kesehatan keuangan tiap RS tentu berbeda. Kekuatan cadangan keuangan untuk membayar obat pun makin hari makin tipis. Dan pada titik equilibrium tertentu, RS tidak bisa membayar obat, karyawan dan dokter.
“Jadi, under treatment itu sebagai akibat, jika itu memang benar terjadi,” pungkasnya
BPJS melalui Kepala Hubungan Masyarakat, Iqbal Anas Ma'ruf menyatakan bahwa Fornas yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan sebagai acuan untuk penyediaan obat yang masuk dalam program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).
“Memang harus dikendalikan. Karena jika dibiarkan liar, nego harga obat dengan pabrikan akan sulit,” katanya.
Tim Fornas, kata Iqbal, memang sudah terpilih dari kalangan farmakologi. Tentu penyusunan fornas melalui proses yang panjang. Jika memang keluhannya bahwa dokter tidak memiliki keleluasaan dalam memberikan obat, maka justru, bagi Iqbal, logika ini menjadi terbalik.
“Dokter kan tidak bisa menulis merk obat, dia hanya memberikan bahan aktifnya,” katanya.