BPJS putus kerja sama dengan puluhan RS, satu juta pasien terdampak
Lebih dari satu juta pasien terancam tidak dapat mengakses layanan BPJS secara maksimal terkait konflik akreditasi dan rekredensialing rumah sakit, kata kepala bidang advokasi lembaga swadaya masyarakat BPJS Watch, Timboel Siregar.
BPJS Kesehatan mengakhiri kerja sama dengan 65 rumah sakit swasta di berbagai daerah di Indonesia terhitung mulai 1 Januari 2019.
Pemutusan itu dilakukan karena puluhan rumah sakit tersebut belum mendapatkan sertifikat akreditasi, menurut keterangan Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma'ruf.
Sementara itu 15 rumah sakit lain putus kerja sama karena tidak memenuhi syarat rekredensialing atau uji kelayakan ulang.
Timboel mengatakan langkah BPJS untuk mengakhiri kerja sama dengan puluhan rumah sakit swasta dapat berdampak buruk pada pelayanan masyarakat yang diterima masyarakat.
Saat ini saja, ujarnya, banyak pasien yang harus menunggu lama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit-rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS.
Timboel mengasumsikan satu rumah sakit memiliki 50 kamar perawatan, sehingga setidaknya 65 rumah sakit yang gagal akreditasi memiliki 3.250 kamar rawat. Jika satu kamar berisi tiga orang, secara hitung-hitungan kasar, akan ada 9.750 orang yang terdampak konflik ini.
Dengan asumsi masa perawatan satu orang sekitar tiga hari dan kamar-kamar hanya terisi 80% saja, kata Timboel, selama satu tahun sebanyak 949.000 orang akan terdampak kebijakan ini.
Jika satu rumah sakit memiliki 100 kamar dan angka pasien rawat jalan dimasukkan dalam hitungan, jumlah orang yang terdampak bisa mencapai sekitar satu juta orang. Angka ini masih belum termasuk jumlah rumah sakit yang tidak memenuhi syarat kredensialing, katanya.
"Kalau saya sih menghitung secara kasar satu jutaan pasien bisa (terdampak) satu tahun," ujarnya kepada wartawan BBC News Indonesia, Callistasia Wijaya.
Konflik akreditasi dan kredensialing rumah sakit
Akreditasi dan kredensialing adalah syarat mutlak untuk kerja sama antara BPJS dan rumah sakit yang disyaratkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.
Iqbal mengatakan pemerintah sudah memberi kesempatan kepada rumah sakit yang ada untuk mengurus sertifikat akreditasi sedari tahun 2014, saat program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dimulai.
Mereka diberi waktu lima tahun untuk mendapatkan akreditasi. Jangka waktu itu berakhir di tahun 2019 ini.
Namun, lanjutnya, sampai saat ini beberapa rumah sakit "membandel" dan enggan mengurus akreditasi mereka.
Iqbal mengatakan akreditasi itu wajib hukumnya untuk menjamin keamanan pasien dan tenaga kesejatan rumah sakit.
"Standar Rumah Sakit untuk memberikan layanan yang berkualitas pembuktiannya ya lewat sertifikat akreditasi yang melewati assesment oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit," kata Iqbal.
Menurut Iqbal, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, telah memberikan kesempatan bagi rumah sakit yang belum diakreditasi untuk melanjutkan kerja sama.
Tahun lalu, mereka diminta untuk memberikan surat komitmen bahwa mereka akan menyelesaikan proses akreditasi.
Jika rumah sakit itu mengirimkan surat komitmen tersebut, kementerian akan menerbitkan surat rekomendasi untuk meneruskan kerja sama. Untuk sementara, rekomendasi itu dapat menggantikan sertifikat akreditasi.
Namun, kata Iqbal, puluhan rumah sakit swasta yang belum terakreditasi tidak juga mengirimkan surat komitmen mereka.
"Ketika rumah sakit ternyata diminta bikin surat komitmen oleh Kemenkes saja tidak buat, apa susahnya sih buat surat komitmen? ...Sehingga tidak ada alasan juga kementerian kesehatan untuk memberikan rekomendasi. Dasarnya apa? Wong orangnya juga nggak komit kok," katanya.
Sejauh ini, sekitar 1.400 rumah sakit di Indonesia sudah terakreditasi. Menurut Iqbal, jika rumah sakit itu memang berkomitmen untuk bekerja sama dengan BPJS, mereka bisa berkonsultasi dengan rumah sakit terakreditasi lainnya.
Sementara itu, untuk memenuhi syarat kredensialing, rumah sakit harus memiliki Surat Izin Operasional, Surat Penetapan Kelas Rumah Sakit, Surat Izin Praktik (SIP) tenaga kesehatan yang berpraktik, NPWP badan, perjanjian kerja sana dengan jejaring (jika diperlukan), sertifikat akreditasi dan surat pernyataan kesediaan mematuhi ketentuan yang terkait dengan JKN.
Masih benahi fasilitas
Salah satu rumah sakit yang putus kontrak dengan BPJS adalah Rumah Sakit Ibu Anak Permata Pertiwi, Citeureup, Bogor, Jawa Barat.
Salah satu staf rumah sakit yang bertugas mengurus layanan BPJS, Lisa Atna Aprillia, mengatakan saat ini rumah sakit tersebut tidak melayani pasien BPJS Kesehatan karena rumah sakit belum diakreditasi.
Lisa mengatakan rumah sakit yang baru berdiri sejak tahun 2016 ini memang belum diakreditasi karena fasilitasnya yang belum memadai. Rumah sakit, lanjutnya, baru memiliki laboratorium dan belum memiliki ruang rontgen.
"Selain itu yang pertama dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) juga mesti dilengkapi. Kita juga masih belum lengkap, masih belum sesuai untuk kamar, bed, SDM, pokoknya keperluan rumah sakit aja sih," kata Lisa.
Oleh karena itu, Lisa mengatakan pihak rumah sakit meminta pasien BPJS Kesehatan, yang jumlahnya sekitar 130 orang per bulan, untuk berobat di fasilitas kesehatan lain.
Sementara itu, Rumah Sakit Karya Medika II, Tambun, Bekasi, Jawa Barat, putus kontrak karena masalah rekredensialing.
Anggita, staf marketing di rumah sakit itu mengatakan rumah sakit sedang menjalani proses renovasi untuk memenuhi syarat yang ditetapkan oleh kementerian kesehatan.
Pasien menyayangkan
Salah seorang pengguna BPJS Kesehatan, Suntina, 24, warga Kramatjati, Jakarta Timur, mengatakan ia berharap layanan BPJS tetap diberikan untuk para pasien.
Suntina adalah salah satu pasien yang menggunakan BPJS Kesehatan untuk operasi Caesar dua bulan lalu di rumah sakit Rumah Sakit Restu Kasih di Kramat Jati, Jakarta Timur.
"Saya [operasi] caesar lahirannya nggak dikenai biaya satu rupiah pun pakai BPJS," ujarnya.
Dia berharap pasien lain dapat tetap menikmati layanan BPJS.
"Saya berharap jangan dihilangkan BPJS itu karena sangat membantu orang-orang yang nggak mampu, nggak punya," katanya.
Sementara itu, Iqbal berujar ia yakin pemutusan kontrak dengan beberapa rumah sakit itu tidak akan berimbas signifikan pada pelayanan pasien.
Misalnya, di Cikarang, Jawa Barat, lanjutnya, ada 32 rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS. Ketika ada tiga rumah sakit yang putus kontrak, lanjutnya, jumlah rumah sakit yang bisa melayani pasien BPJS masih cukup banyak.
Lagipula, katanya, rumah sakit pemerintah tetap tersedia untuk para pasien.
Ia kemudian meminta rumah sakit yang putus kontraknya untuk segera menyelesaikan proses akreditasi rumah sakit supaya mereka kembali bisa melayani pasien BPJS.
Jangan ganggu pasien
Timboel mengatakan pemerintah sebaiknya tidak terlalu kaku dengan aturan akreditasi ataupun rekredensialing karena hingga kini suplai layanan kesehatan masih jauh dibawah demand masyarakat.
Saat ini saja, katanya, masyarakat masih sering kesulitan mencari ruang perawatan, juga Intensive Care Unit (ICU) dan Pediatric Intensive Care Unit (PICU).
"Kalau hukum positifnya mengatakan ada sertifikat akreditasi ya memang harus juga, tetapi bisalah dikasih kesempatan kembali. Memang nih rumah sakit ada bandelnya juga. Nah tapi jangan juga langsung diputus kerja samanya karena dari sisi suplai (layanan kesehatannya) kita masih kurang," katanya.
Terkait rekredensialing, Timboel meminta BPJS untuk tidak sekadar memeriksa rumah sakit dan memutus kerja sama. BPJS, katanya, perlu memonitor rumah sakit yang berkerja sama supaya mereka bisa melengkapi syarat-syarat yang belum terpenuhi.
sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46780599