Penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri di beberapa provinsi membuat penyakit tersebut resmi dianggap ancaman besar hingga pengujung 2017. Yang menyedihkan, salah satu penyebab tingginya penyebaran difteri akibat sebagian warga menolak melakukan vaksinasi.
Antara melaporkan sekitar 66 persen penduduk Indonesia yang terserang difteri ternyata tidak mengalami imunisasi. Selain itu, meski sudah pernah dilakukan vaksinasi, untuk mencegah difteri tidak hanya cukup sekali vaksinasi, namun harus dilakukan lagi setelah 10 tahun. Vaksin difteri juga diklaim dapat mencegah wabah ini hingga 95 persen.
Selain wabah difteri atau campak, Indonesia juga sedang menghadapi berbagai epidemi, seperti epidemi malaria. Dalam laporan A Baseline Analysis from the Global Burden of Disease Study 2015 memaparkan bahwa malaria, tuberkolosis dan HIV mendapat nilai rendah yang artinya Indonesia harus berjuang keras melawan penyakit tersebut.
Selain negara berkembang, negara-negara yang punya masalah dengan penanganan penyakit biasanya adalah negara yang didera perang. Yaman, misalnya, negara tersebut berada di posisi terendah lantaran diserang Kolera dan hancurnya berbagai infrastruktur kesehatan akibat perang. Amerika Latin juga berjuang melawan virus zika. Sedangkan Myanmar beberapa bulan lalu diserang flu babi.
Di tengah berbagai serangan virus dan bakteri, sayangnya setengah populasi dunia tidak dapat memperoleh layanan kesehatan yang memadai menurut laporan Bank Dunia dan WHO. Situasi itulah yang menempatkan sejumlah negara di posisi rendah dalam indeks kesehatan yang rendah.
Indonesia rupanya juga berada dalam posisi yang buruk. Dalam indeks kesehatan global terakhir, Indonesia berada di posis ke 101 dari 149 negara menurut laporan The Legatum Prosperity Index 2017.
Indeks ini didasarkan pada kesehatan fisik, mental, infrastruktur kesehatan dan perawatan guna pencegahan berbagai wabah atau penyakit. Dibandingkan Singapura, misalnya, posisi Indonesia sangatlah jauh. Negara maju yang hanya seluas DKI Jakarta dengan penduduk sekitar 5 juta jiwa ini menjadi negara dengan indeks kesehatan terbaik nomor dua di dunia.
Singapura berada di bawah Luksemburg yang menjadi negara dengan indeks kesehatan terbaik di dunia. Lima negara teratas memang dipegang negara-negara maju termasuk Jepang, Swiss dan Austria. Negara-negara maju memang memiliki layanan kesehatan yang baik yang ditunjang infrastruktur memadai.
Negara-negara dunia ketiga, khususnya dari Afrika, yang sangat minim dalam layanan kesehatan yang memadai seperti Chad, Afrika Tengah, Guinea dan Liberia menempati posisi terbawah sebagai negara dengan indeks kesehatan berburuk di dunia.
Dibandingkan negara ASEAN lainnya pun posisi Indonesia masih keteteran. Thailand menempati posisi 35. Sedang Malaysia menempel Thailand di posisi 38. Indonesia bahkan kalah dari Vietnam yang berada di posisi 69 atau Laos di posisi 94.
Malaysia bahkan punya pencapain lain yang sangat menarik. Dalam 10 tahun terakhir pemerintah setempat gencar melakukan perbaikan sistem kesehatan dengan biaya murah. Tidak heran jika
berbagai layanan kesehatan seperti rumah sakit di Malaysia pun mendapat akreditasi tinggi.
Situasi itulah yang membuat Malaysia bahkan berani membangun wisata medis bagi turis atau pasien luar negeri. Hal itu terjadi karena layanan kesehatan di negara ini dinilai cukup memadai dan juga memiliki harga yang relatif terjangkau.
Pada 2011, misalnya, sekitar 643 ribu turis asing datang mengunjungi Malaysia untuk memperoleh layanan kesehatan. Jumlah itu semakin melonjak pada 2016 yang bahkan mencapai 921 ribu.
Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah pada sektor kesehatan. Misalnya, dari segi pencegahan, masih banyak warga yang kurang sadar melakukan imunisasi. Termasuk kesadaran menjaga lingkungan agar terhindar dari berbagai penyakit.
Hingga kini, 120 juta warga masih hidup dalam lingkungan dengan sanitasi yang buruk. Setiap tahun bencana asap mengancam saluran pernafasan warga di Sumatera dan Kalimantan. Mutu air sungai di Indonesia termasuk buruk karena 52 sungai berstatus tercemar berat.
Dari sisi pemerintah, sejak awal 2017, pemerintah berjanji meningkatkan layanan kesehatan dengan merilis Epidemiology Operation Center (EOC). Sistem itu akan memantau penyakit yang muncul di seluruh Indonesia selama 24 jam. Namun upaya ini ternyata belum mampu mencegah dua kematian karena difteri di Jakarta.
Sedangkan dari sisi pengobatan dan infrastruktur kesehatan, masih banyak wilayah terpencil di yang masih sulit untuk mengakses layanan medis. Bahkan wilayah yang sudah memiliki layanan medis lengkap pun, belum tentu mendapatkan layanan kesehatan karena biaya yang mahal. Meski kini pemerintah sudah menerapkan kartu Indonesia Sehat, termasuk adanya BPJS, namun rupanya hal itu belum cukup mengangkat indeks kesehatan Indonesia di tingkat global.
https://tirto.id/