BPJS Kesehatan Terapkan Skema Baru Koordinasi Manfaat (CoB)

22marBadan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menerapkan skema baru coordination of benefit (CoB) atau koordinasi manfaat dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Skema tersebut menekankan pada peningkatan layanan kesehatan non medis.

"Penerapan skema baru ini akan menguntungkan tak hanya peserta, tetapi juga perusahaan asurasi kesehatan swasta atau asuransi kesehatan tambahan (AKT)," kata Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris usai penandatanganan kerja sama dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, di Jakarta, Rabu (22/3).

Penegasan tersebut disampaikan Fachmi Idris, karena hingga kini masih banyak perusahaan swasta dan BUMN berdana lebih yang masih ragu-ragu terhadap layanan kesehatan yang diberikan BPJS Kesehatan.

"Skema baru ini lebih baik karena BPJS Kesehatan telah bersinergi dengan puluhan perusahaan asuransi kesehatan swasta," ujar Fachmi.

Dijelaskan, skema CoB dalam Peraturan BPJS Kesehatan No 4 Tahun 2016 memiliki perbedaan dengan aturan sebelumnya. Aturan yang baru lebih menguntungkan bagi peserta maupun perusahaan AKT.

Jika dilihat dr kepesertaan, kata Fachmi, jika sebelumnya badan usaha mendaftarkan langsung kepesertaan JKN-KIS ke BPJS Kesehatan, kini badan usaha bisa mendaftarkan kepesertaan JKN-KIS melalui perusahaan AKT.

"Dari sisi pembayaran iuran, jika dulu pembayaran dilakukan secara terpisah, kini bisa bareng dengan premi AKT. Sehingga tidak terjadi pembayaran ganda," kata Fachmi menegaskan.

Jika ada perusahaan memiliki lebih dari satu asuransi kesehatan tambahan, maka koordinasi manfaat hanya dilakukan oleh asuransi tambahan mitra BPJS Kesehatan. Alternatif lain, badan usaha dapat langsung mendaftar dan membayar iuran ke BPJS Kesehatan tanpa melalui perusahaan AKT.

Dari segi layanan kesehatan, aturan CoB yang lama membatasi rujukan hanya dari FKTP (fasilitas kesehatan tingkat pertama) mitra BPJS Kesehatan, kini peserta bisa menggunakan rujukan dari FKTP non BPJS Kesehatan yang bermitra dengan AKT.

"Dengan catatan rujukan itu kasus spesialistik," kata Fachmi seraya menambahkan pihaknya telah bekerja sama dengan 23 perusahaan AKT untuk penerapan CoB.

Disebutkan hingga saat ini tercatat ada 13 BUMN yang telah memanfaatkan CoB skema baru, antara lain Pelindo IV, Bank BNI, Wijaya Karya, Perum Percetakan Negara, Pupuk Sriwijaya, Garuda Indonesia, Adhi Karya, Jasa Raharja, Pegadaian dan Kimia Farma.

Sementara itu, Menteri BUMN, Rini Soemarno meminta pada seluruh pemimpin BUMN untuk mendaftarkan seluruh karyawannya sebagai peserta program JKN. Kepatuhan tersebut akan mempengaruhi penilaian dalam laporan akhir kinerja pimpinan BUMN.

"Jika sampai akhir 2017 masih ada BUMN yang belum mendaftarkan seluruh karyawannya, kami akan beri raport merah," kata Menteri BUMN, Rini Soemarno.

Komitmen orang nomor satu di Kementerian BUMN tersebut, ditambahkan Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris, menjadi sangat penting. Pasalnya, hingga kini masih banyak BUMN yang belum mendaftarkan karyawannya sebagai peserta BPJS Kesehatan.

"Sebagai perusahaan milik negara, BUMN seharusnya mendukung program pemerintah. Karena itu menjadi penting komitmen dari Menteri BUMN," ucapnya.

Fachmi menyebutkan, jumlah karyawan dari BUMN tercatat ada sekitar 590 ribu orang. Dari jumlah itu, 490 ribu orang tercatat sebagai peserta BPJS Kesehatan atau berjumlah 1,2 juta orang jika digabung dengan keluarga

"Diharapkan sisa 100 ribu karyawan yang belum terdaftar, bisa segera dituntaskan hingga akhir 2017 ini," kata Fachmi menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Peserta JKN Kini Cakup 70 Persen dari Total Penduduk

16marEmpat tahun pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), jumlah kepesertaan sudah mencapai 70 persen dari total penduduk Indonesia. Tercatat hingga 10 Maret 2017 jumlah peserta JKN mencapai 175.229.402 jiwa.

"Karena itu, kami optimis target cakupan semesta pada 2019 bisa tercapai," kata Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga, BPJS Kesehatan, Bayu Wahyudi usai penandatanganan kerja sama BPJS Kesehatan dengan Kabupaten Tanah Datar dalam pengintegrasian program Jamkesda, di Jakarta, Rabu (15/3).

Hadir dalam kesempatan itu Bupati Tanah Datar, Sumatera Barat, Irdinansyah Tarmizi.

Terkait dengan program Jamkesda, Bayu Wahyudi mengungkapkan, masih ada 63 kabupaten/kota yang belum melakukan pengintegrasian program Jamkesdanya ke JKN. Dengan jumlah penduduk sebanyak 16 juta jiwa.

"Dari 514 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, baru 441 kabupaten/kota yang Jamkesdanya bergabung ke JKN. Semoga masalah ini bisa diselesaikan pemerintah daerah secepatnya," tutur Bayu menegaskan.

Untuk itu, lanjut Bayu Wahyudi, BPJS Kesehatan akan melakukan pendekatan secara berkesinambungan agar muncul kesadaran tentang pentingnya jaminan kesehatan pada warganya yang kurang mampu.

Bayu menilai Pemda sangatlah menentukan dalam memaksimalkan program JKN. Setidaknya terdapat 3 peran penting, yaitu memperluas cakupan kepesertaan, meningkatkan kualitas pelayanan dan memperkuat tingkat kepatuhan dalam pembayaran iuran.

"Peran Pemda tak hanya dari sisi pembiayaan, tetapi bagaimana mengoptimalkan mutu pelayanan kesehatan sehingga derajat kesehatan masyarakat semakin bagus," ucapnya.

Sementara itu, Bupati Tanah Datar, Irdinansyah Tarmizi mengatakan, pihaknya sangat mendukung pengintegrasian Jamkesda ke JKN. Jumlah penduduk Tanah Datar yang sudah terdaftar sebagai peserta JKN ada 228.326 orang atau 62,94 persen dari total penduduk.

"Kami akan turun ke desa untuk sosialisasi. Karena masih banyak warga yang belum terdaftar BPJS Kesehatan, karena bukan tak punya uang tapi tidak tahu mendaftar. Jika sudah, tempat pembayaran iurannya jauh," ujarnya.

Untuk warga miskin yang belum masuk dalam daftar, Irdiansyah mengatakan, pihaknya akan mengatasinya lewat kerja sama dengan badan amil setempat atau bekerja sama dengan komunitas perantau.

"Gagasan ini ditanggapi positif oleh sejumlah komunitas perantau. Mereka mau menjadi "orangtua asuh" bagi penduduk miskin yang tak masuk dalam daftar penerima biaya iuran (PBI)," ucap Irdiansyah menandaskan. (TW)

{jcomments on}

Menkes: Benahi Sistem Rujukan, Turunkan Angka Kematian Ibu dan Anak

Menteri Kesehatan (Menkes), Nila FA Moeloek meminta rumah sakit dan Puskesmas memperbaiki sistem rujukan dan layanan kegawatdaruratan. Karena kasus kematian ibu dan anak justru banyak terjadi di pelayanan kesehatan.

"Upaya menurunkan angka kematian ibu dan anak di Indonesia harus disertai perbaikan pada sistem, baik di rumah sakit maupun Puskesmas," kata Nila Moeloek saat menerima laporan program EMAS (Expanding Maternal and Neonatal Survival) tahun 2011-2016 dari lembaga bantuan Amerika, USAID, di Jakarta, Selasa (14/3).

Laporan tersebut diserahkan secara simbolik oleh Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters.

Masih tingginya angka kematian ibu dan bayi, menurut catatan WHO, sebagian besar akibat layanan kegawatdaruratan yang dibawah standar, bahkan saat di fasilitas kesehatan. Selain adanya kesenjangan indikator pelayanan kesehatan ibu dan bayi di Indonesia.

Upaya perbaikan hanya dapat dicapai, dengan cara meningkatkan kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan, koordinasi yang lebih baik antara penyelia layanan kesehatan pemerintah dan swasta. Serta antara masyarakat dan rumah sakit, terutama selama keadaan gawat darurat.

Selain itu, perlunya mengurangi hambatan dalam akses pembiayaan dalam pelayanan kesehatan. Masalah ini sebenarnya sudah bisa diselesaikan oleh program JKN, tapi belum semua masyarakat menjadi peserta JKN.

Menkes menilai, pentingnya pembenahan pada sistem karena angka kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia tidak berubah secara signifikan. Meski terjadi sedikit penurunan, namun angkanya masih paling tinggi antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Di Indonesia, 40 ibu hamil meninggal dan 247 bayi baru lahir meninggal setiap harinya. Hampir 70 persen kematian ibu hamil dan 75 persen kematian bayi baru lahir terjadi di Jawa dan Sumatera. Padahal, sebagian besar penyebab kematiannya dapat dicegah.

"Banyak yang harus kita lakukan untuk meningkatkan pelayanan kegawatdaruratan untuk ibu dan bayi baru lahir," ujar Menkes.

Ia berharap rumah sakit dan Puskesmas di kabupaten/kota seluruh Indonesia dapat memetik pelajaran penting dari program EMAS untuk perbaikan secara berkesinambungan.

Program EMAS sebelumnya dilaksanakan organisasi nirlaba internasional, Jhpiego dibantu sejumlah organisasi seperti Muhammadiyah, Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan (LKBK), Save The Children dan RTI. Program didanai USAID hingga 55 juta dolar selama 5 tahun.

Program melibatkan 150 rumah sakit dan 300 Puskesmas yang tersebar di 30 kabupaten di 6 provinsi yang selama ini memiliki angka kematian ibu dan bayi yang tinggi. Disebutkan, Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. (TW)

{jcomments on}

Kemkes Adopsi Program EMAS Cegah Kematian Ibu dan Bayi

Kementerian Kesehatan akan mengadopsi program EMAS (Expanding Maternal and Neonatal Survival) yang dikembangkan lembaga bantuan Amerika, USAID dalam 5 tahun belakangan ini. Program tersebut untuk menekan angka kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia.

"Program EMAS sudah selesai tahun ini, tapi selanjutnya akan diadopsi untuk daerah lain," kata Direktur Kesehatan Keluarga Kemenkes, Eni Gustina dalam keterangan pers, di Jakarta, Jumat (10/3).

Eni menjelaskan, program EMAS sebelumnya dilaksanakan organisasi nirlaba internadional, Jhpiego dibantu sejumlah organisasi seperti Muhammadiyah, Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan (LKBK), Save The Children dan RTI. Program didanai USAID hingga 55 juta dolar selama 5 tahun.

Program melibatkan 150 rumah sakit dan 300 Puskesmas yang tersebar di 30 kabupaten di 6 provinsi yang selama ini memiliki angka kematian ibu dan bayi yang tinggi. Disebutkan, Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.

"Hampir 70 persen kasus kematian ibu dan 75 persen kematian bayi baru lahir di Jawa dan Sumatera disebabkan oleh hal-hal yang sebenarnya bisa dicegah dengan perbaikan sistem," ujarnya.

Eni mengutip data badan kesehatan dunia WHO 2010 yang menyebutkan ada 66 ribu bayi baru lahir meninggal setiap tahun di Indonesia. Bulan pertama kehidupan adalah yang paling berbahaya. Faktanya, 60 kematian bayi terjadi dalam bulan pertama kehidupan.

Untuk angka kematian ibu, Eni mengemukakan, ada 8.800 kasus setiap tahunnya. Angka kematian ibu akibat melahirkan di Indonesia sebesar 359 per 100 ribu merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Angka itu cenderung meningkat dibanding Filipina (99), Vietnam (59), Malaysia (48) dan Thailand (29).

Masih tingginya angka kematian ibu dan bayi, menurut catatan WHO, sebagian besar akibat layanan kegawatdaruratan yang dibawah standar, bahkan saat di fasilitas kesehatan. Selain adanya kesenjangan indikator pelayanan kesehatan ibu dan bayi di Indonesia.

Upaya perbaikan hanya dapat dicapai, dengan cara meningkatkan kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan, koordinasi yang lebih baik antara penyelia layanan kesehatan pemerintah dan swasta. Serta antara masyarakat dan rumah sakit, terutama selama keadaan gawat darurat.

"Selain itu, perlunya mengurangi hambatan dalam akses pembiayaan dalam pelayanan kesehatan. Masalah ini sebenarnya sudah bisa diselesaikan oleh program JKN, tapi belum semua masyarakat menjadi peserta JKN," kata Eni menandaskan. (TW)

 

Mahasiswa Diminta Jadi Agen Perubahan Program JKN

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kali ini menggandeng perguruan tinggi untuk memperluas cakupan kepesertaan program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Mahasiswa diharapkan bisa menjadi agen perubahan bagi masyarakat sekitar kampus.

"Perguruan tinggi boleh buka loket pendaftaran kolektif kepesertaan JKN," kata Dirut BPJS Kesehatan, Fachmi Idris usai penandatanganan kerja sama dengan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Dikti (Kemristekdikti) di Jakarta, Kamis (9/3).

Dari pihak Kemristekdikti, penandatanganan dilakukan Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti, Ali Ghufron Mukti.

Fachmi menambahkan, kerja sama dengan berbagai pihak dilakukan untuk mendongkrak kepesertaan JKN, sehingga target cakupan semesta pada 2019 bisa tercapai. Hingga 3 Maret 2017 tercatat, jumlah peserta JKN telah mencapai sekitar 174 juta jiwa.

BPJS Kesehatan pada 2016 lalu telah menjalin kerja sama dengan 42 perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia untuk mendaftarkan mahasiswanya secara kolektif sebagai peserta JKN.

"Melalui kerja sama ini diharapkan makin banyak perguruan tinggi terlibat dalam perluasan akses program JKN," ujarnya.

Perguruan tinggi dapat mendata dan mendaftarkan mahasiswanya yang belum terdaftar sebagai peserta JKN. Selain itu, lanjut Fachmi Idris, pengumpulan iuran mahasiswa juga dikoordinir oleh pihak universitas sehingga lebih mudah.

"Bila perlu dibuat loket khusus untuk program JKN di kampus, sehingga mahasiswa maupun masyarakat sekitar tahu harus kemana dalam mengurus kepesertaannya," tutur mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia tersebut.

Disebutkan sejumlah perguruan tinggi yang sudah menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan, antara lain Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Andalas Padang, Universitas Dharma Persada Jakarta, Universitas Padjajaran Bandung, Universitas Palangkaraya dan Institut Seni Indonesia Bali.

Dirjen SMI dan Dikti, Kemristekdikti Ali Ghufron Mukti mengatakan, program JKN harus didukung karena terbukti mampu memberi kepastian akan jaminan kesehatan masyarakat. Hal itu terlihat dari jumlah masyarakat yang berani berobat ke layanan kesehatan.

"Jika dulu orang takut berobat karena biaya kesehatan mahal, sekarang sejak ada kartu JKN masyarakat sakit sedikit langsung berobat. Masyarakat sudah merasakan manfaat dari program asuransi kesehatan ini," ujar mantan Wakil Menteri Kesehatan itu menandaskan. (Tri Wahyuni)

 

ASPAKI: Nilai Pasar Industri Alat Kesehatan Capai Rp 60 Trilyun

Pangsa pasar industri alat kesehatan yang diproduksi dalam negeri masih berpeluang untuk melanjutkan pertumbuhan pada 2017. Dalam beberapa tahun sebelumnya, industri alat kesehatan di Indonesia mampu bertumbuh hingga 10% per tahun. Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Asosiasi Pengusaha Alat Kesehatan Indonesia (ASPAKI), nilai pasar alat kesehatan di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 60 trilyun hingga akhir 2016. Dari nilai pasar tersebut, pasar produk dalam negeri hanya mencapai sekitar Rp 14 trilyun.

"Itu artinya, produk alat kesehatan yang diproduksi dalam negeri harusnya bisa menggarap pasar yang lebih tinggi, jangan terlalu bergantung pada produk luar. Produk lokal kita juga nggak kalah kok dengan produk luar," ujar Sekretaris Jenderal ASPAKI Cristina Sandjaja, melalui siaran pers yang diterima GATRAnews.

Saat ini, alat kesehatan yang digunakan di Indonesia masih bergantung pada produk luar negeri. Nilai impor produk alat kesehatan masih mencapai 90% dari total penggunaan alat kesehatan di Indonesia. "Tingginya tingkat impor alat kesehatan ini memang menjadi salah satu problematika di dunia kesehatan di Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan upaya bersama antara pemerintah dan pelaku usaha guna mendorong inovasi alat kesehatan di dalam negeri," ungkap Cristina.

Cristina menambahkan, hambatan perkembangan alat kesehatan dalam negeri salah satunya dilatarbelakangi oleh minimnya tenaga ahli yang bisa mendorong inovasi yang dihasilkan. Selain itu, bahan baku yang tersedia juga belum memadai. Meski demikian, lanjutnya, asosiasi tetap optimistis industri alat kesehatan lokal masih bisa menunjukkan pertumbuhan.

"Tugas rumahnya memang masih banyak namun kita tetap harus optimistis dan terus menerus menciptakan inovasi-inovasi baru. Pemerintah juga sudah meningkatkan anggaran kesehatan dan kita sedang menuju implementasi Jaminan Kesehatan Nasioonal yang artinya penggunaan alat kesehatan pasti akan meningkat. Hal inilah yang harus dimanfaatkan oleh pengusaha lokal dengan sebaik-baiknya," tegas Cristina.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum IndoHCF Supriyantoro menyebutkan, saat ini jenis alat kesehatan produksi dalam negeri baru mampu memenuhi standar peralatan minimal yang harus ada di rumah sakit kelas A sebesar 48,2%, di kelas B sebesar 51,3%, di kelas C sebesar 57,9%, dan di kelas D sebesar 66,1%. "Hal inilah yang mendorong kami untuk melakukan acara yang bisa mendorong ide-ide dan inovasi baru di bidang kesehatan. Tujuan jangka panjangnya tentu untuk meningkatkan standar pelayanan kesehatan di Indonesia," jelas Supriyantoro.

Indonesia Healthcare Forum Innovation Award 2017 merupakan sebuah ajang lomba yang memberikan penghargaan khusus kepada individu, institusi, atau kelompok yang telah menerapkan atau melakukan inovasi di bidang kesehatan. Lomba yang direncanakan akan diadakan tiap tahunan ini memiliki lima kategori, antara lain inovasi sistem penanggulangan gawat darurat terpadu pra RS, inovasi program kesehatan ibu dan anak, inovasi alat kesehatan, inovasi e-health, dan inovasi seni kreasi promosi kesehatan.

"Melalui acara ini, kami mengundang para inovator handal untuk ikut berpartisipasi dan menciptakan inovasi terbaiknya sesuai dengan kategori yang ada. Selain itu, kami juga akan menyelenggarakan seminar dan workshop nasional mengenai hal penanggulangan kegawatdaruratan dan perkembangan teknologi informasi di bidang kesehatan" kata Supriyantoro.

Sementara, Ketua Asosiasi Prakarsa Indonesia Cerdas Suhono Harso Supangkat menyatakan, saat ini Indonesia sedang memasuki masa transformasi digital dimana penerapan teknologi dapat memudahkan segala aspek kehidupan, termasuk di bidang kesehatan. "Inovasi teknologi untuk bidang kesehatan mutlak diperlukan guna mempermudah dan meningkatkan standar pelayanan kesehatan," jelas Suhono.

sumber http://www.gatra.com/

 

Presiden buka Rakerkes bahas perbaikan kesehatan Indonesia

"Jangan sampai masih ada yang namanya Gizi Buruk"

Presiden Joko Widodo membuka Raker Kesehatan Nasional 2017 dengan membahas upaya perbaikan kesehatan masyarakat untuk meraih Indonesia Emas pada 2045.

"Jangan sampai masih ada yang namanya gizi buruk. Mudah-mudahan tidak ada. Ini yang harus kita selesaikan," kata Presiden dalam sambutannya saat peresmian Pembukaan Rapat Kerja Kesehatan Nasional Tahun 2017 dan Peluncuran Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) serta Pembangunan 124 Puskesmas Perbatasan di Hotel Bidakara, Jakarta pada Selasa.

Menurut Presiden, sejumlah kementrian/lembaga terkait kesehatan perlu fokus dan sinergi dalam menangani masalah gizi buruk dan peningkatan kesehatan.

Jokowi menjelaskan Indonesia akan meraih bonus demografi pada 2025-2030 di mana jumlah usia produktif meningkat pesat dan dapat menjadi modal pembangunan Tanah Air ke depan.

Kepala Negara mengatakan agar Indonesia dapat bersinergi baik di pusat maupun daerah untuk memanfaatkan bonus demografi tersebut.

"Problem-problem kita, angka kematian, angka orang miskin, penyakit yang masih kita lihat belakangan ini, demam berdarah dan TBC, itu harus diselesaikan kalau kita mau berkompetisi," tegas Presiden.

Jokowi menjelaskan alokasi anggaran untuk sektor kesehatan yaitu sebesar 5% dari APBN atau berjumlah sekitar Rp104 triliun.

"Tugas kita mengantar anak-anak menuju kepada Indonesia maju 2045. Jadi artinya, tenaga kesehatan harus aktif mendatangi masyarakat, jangan menunggu di Puskesmas, menunggu orang sakit. Datangi mereka, gencarkan. Beritahukan mana yang benar, yang tidak benar. Mana yang harus dilakukan, dan tidak boleh dilakukan," tambah Presiden.

Raker tersebut melibatkan 1.787 peserta dari berbagai lintas sektor baik di tingkat pusat maupun daerah.

Pertemuan itu mengangkat tema "Sinergi Pusat dan Daerah dalam Pelaksanaan Pendekatan Keluarga untuk Mewujudkan Indonesia Sehat" yang dilaksanakan sejak 26 Februari 2017 hingga 1 Maret 2017.

Dalam rakernas juga diresmikan program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) dan Pencanangan pembangunan 124 Puskesmas di perbatasan.

Selain itu, Kemenkes juga mempromosikan program Gerakan Masyarakat Sehat (GERMAS) yang tidak hanya dilakukan oleh jajaran kesehatan, namun juga lintas sektor dan dilakukan oleh seluruh komponen bangsa.

Program Germas difokuskan kepada tiga kegiatan yaitu aktivitas fisik, konsumsi sayur dan buah, dan pemeriksaan kesehatan secara rutin.

http://www.antaranews.com/

 

Presiden Minta Puskesmas Lebih Giat Promosikan Kesehatan

28febPresiden Joko Widodo meminta Puskesmas untuk lebih giat mempromosikan budaya hidup sehat di masyarakat. Karena tindakan mencegah lebih baik dibanding mengobati.

"Dinas kesehatan juga harus rajin meninjau Puskesmas, melihat apakah mereka sudah mengiatkan kegiatan promosi kesehatan," kata Presiden Joko Widodo dalam acara Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) 2017, di Jakarta, Selasa (28/2).

Rakerkesnas bertajuk "Sinergi Pusat dan Daerah dalam Pelaksanaan Pendekatan Keluarga untuk Mewujudkan Indonesia Sehat" itu dihadiri 1.787 peserta dari seluruh Indonesia.

Presiden menilai perlunya petugas kesehatan menggunakan pendekatan keluarga, sebagai gugus terkecil di masyarakat. Karena jika keluarganya sehat, maka masyarakat di sekitar akan menjadi sehat pula.

"Harus ada perubahan pola pikir di kalangan tenaga kesehatan. Ukurannya, Puskesmas tak boleh bangga jika memiliki banyak pasien. Apalagi jika ada laporan kasus gizi buruk di wilayahnya," tutur Presiden.

Presiden juga menekankan perlunya peran serta dari lintas sektor untuk bersama-sama berperan dalam Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS). Karena tak mungkin Kementerian Kesehatan bekerja sendirian menyelesaikan permasalahan kesehatan tanpa bantuan dari sektor lainnya.

"Kesehatan merupakan 1 dari 6 urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Karena itu, pelaksanaan diatur dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) guna memastikan ketersediaan layanan itu bagi seluruh warga negara," katanya.

Ditambahkan, kesehatan secara bertahap diserahkan kewenangannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah sesuai Undang-Undang (UU) No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Masalah kesehatan mendapat perhatian dari Presiden karena Indonesia pada 20 tahun mendatang akan mendapat bonus demografi. Tambahan generasi muda itu jika tidak sehat, akan membebani keuangan negara.

"Masalah kesehatan sangat fundamental untuk diselesaikan agar tak ada lagi pemberitaan soal kasus gizi buruk atau anak meninggal karena penyakit yang seharusnya bisa dicegah. Hal itu tak pantas, karena Indonesia saat ini masuk dalam salah satu negara berpendapatan menengah," ucap Kepala Negara.

Didampingi Menteri Kesehatan, Nila FA Moeloek, Presiden Joko Widodo meluncurkan Pos Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (Public Health Emergency Operating Center) dan Re-gistrasi Online Tenaga Kesehatan Indonesia yang difasitasi Masyarakat Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI).

Presiden juga mencanangkan Program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) dan pembangunan 124 Puskesmas baru di perbatasan. (TW)

{jcomments on}