Analisis Konteks Kebijakan
Faktor Situasional
Sektor kesehatan Indonesia pada dasarnya adalah sistem berbasis pasar. Secara historis layanan kesehatan didominasi oleh sistem keuangan out of pocket (biaya sendiri). Sistem jaminan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah baru diperkenalkan pada 1998, setelah krisis ekonomi.
Pada 2008, program jaminan kesehatan nasional yang terakhir (Jamkesmas) dibuat, bertujuan untuk menyediakan akses kepada pelayanan kesehatan untuk orang miskin dan agak miskin, dengan membebaskan mereka dari biaya- biaya yang dikeluarkan saat menggunakan pelayanan kesehatan.
Faktor Struktural
Kebijakan desentralisasi adalah faktor struktural yang penting yang mempengaruhi kebijakan MNMCH. Pada 1999, kebijakan desentralisasi dipicu oleh tekanan politik selama masa reformasi. Dalam sebuah situasi yang tidak siap, desentralisasi membawa dampak negatif pada sektor kesehatan seperti: kegagalan sistem, kurangnya koordinasi, sumber daya yang tidak mencukupi, jenjang karir sumber daya manusia yang buruk, dan pengaruh politik yang berlebihan. Pada 2004, UU No. 22/1999 diamandemen dengan UU no.32/2004. UU yang mengamendir menekankan pada peranan baru pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Akan tetapi, sektor kesehatan masih tetap didesentralisasi.
Kebijakan desentralisasi tidak efektif untuk kesehatan anak. Kesenjangan antar provinsi, kabupaten/kota dan kelompok sosial ekonomi masih ada. Contohnya: Angka kematian balita berkisar dari 22 di DI Yogyakarta menjadi 96 di Sulawesi Barat. Angka kematian balita juga lebih tinggi secara substansi terhadap anak-anak yang tinggal di pedesaan (38 kematian per 1000 kelahiran). Secara nasional, 46% kelahiran terjadi di fasilitas kesehatan, secara sub-nasional berkisar dari 91% di Bali dan 8% di Sulawesi Selatan. Perbedaan yang sama di antara kelompok sosial ekonomi juga dapat diamati. Saat 83% perempuan dari kuintil kemakmuran paling atas melahirkan di fasilitas kesehatan, hanya 14% perempuan dari kuintil paling bawah yang melahirkan di fasilitas kesehatan.
Berdasarkan data pengeluaran KIA di Kementrian Kesehatan dan Kementrian Keuangan, proporsi pengeluaran KIA didominasi oleh sumber-sumber pemerintah pusat (di luar anggaran Jamkesmas). Pengeluaran pemerintah daerah hanya kurang dari 15%. Ada beberapa penjelasan dari rasa ikut memiliki pemerintah daerah yang rendah:
- Kesehatan Anak adalah salah satu yang disebut program vertikal. Kebanyakan anggaran Kesehatan Anak datang dari pemerintah pusat (APBN). Anggaran ini dibagi berdasarkan direktorat jenderal dan sub-direktorat (pembagian pertama)
- Kurangnya koordinasi lintas sektoral. Anggaran pemerintah daerah biasanya dipakai untuk pencegahan sekunder dan tersier. Pencegahan pertama lebih pada determinan sosial kesehatan. Programnya diatur oleh departemen lain, non-departemen kesehatan dalam pemerintah daerah. Ada satu lagi pembagian (pembagian kedua) yang mana proses perencanaan dan anggaran di departemen kesehatan dan departemen lain tidak terkoordinasi.
Proses anggaran dan penyaluran KIA disentralisasi dan memiliki beragam masalah. Dalam lima tahun terakhir, anggaran pemerintah pusat tidak dapat diandalkan (naik turun), penundaan dalam pengeluaran dana, dan sulit dalam penyaluran kepada penerima manfaat program KIA. Kebijakan alokasi sumber daya KIA pemerintah pusat tidak bertujuan untuk meningkatkan rasa memiliki pemerintah lokal. Kebijakan yang berlaku tidak cukup kuat untuk memaksimalkan dampak positif yang diharapkan dari kebijakan desentralisasi. Sebagai dampaknya, anggaran pemerintah daerah untuk KIA terbatas. Hal ini menjadi situasi yang rawan; program KIA Indonesia mengandalkan sumber daya keuangan tunggal dari pemerintah pusat dengan sumber daya yang tidak dapat diandalkan dan penyaluran dana yang rentan. Akhirnya, pelaksana di daerah yang seharusnya bertanggung jawab atas kebijakan lokal dan implementasinya menjadi tidak cukup aktif untuk program KIA.
Secara kontekstual terlihat bahwa Kebijakan Desentralisasi di sektor kesehatan belum banyak dipergunakan untuk kepentingan pelaksanaan kebijakan KIA. Isu program KIA belum diperhatikan di daerah, khususnya di kabupaten. Pemerintah pusat sudah mempunyai perhatian besar untuk KIA, namun tidak mampu mengajak pemerintah propinsi dan kabupaten untuk memperhatikannya. Di berbagai daerah anggaran untuk KIA masih rendah. Kebijakan KIA terlihat hanya satu di seluruh Indonesia. Perbedaan tempat kematian ibu dan bayi dimana di pulau Jawa sebagian besar berada di rumahsakit belum diperhatikan. Belum terlihat banyak program yang khas daerah. Namun saat ini sudah beberapa propinsi menggunakan kebijakan daerah misal NTT .