Reportase

Sesi 2. Ideologi UU Pendidikan Kedokteran dan
reformasi apa yang ingin dicapai


sesi229

Sesi kedua dibuka oleh Prof. Laksono Trisnantoro, PhD menyampaikan terkait ideologi UU Pendidikan Kedokteran. Pendidikan kedokteran di Indonesia bersifat konservatif, sulit diubah, sangat dipengaruhi ikatan profesi. Ikatan dokter di Indonesia berbeda dengan yg diterapkan di Amerika Serikat dan Australia. Di Indonesia, tidak ada pemisah antara kolegium (AIPKI) dengan asosiasi profesi (IDI) yang membuat IDI seakan mempunyai kekuasaan yang besar dan cenderung monopoli pengaturan dokter di Indonesia. Kekuasaan tanpa check and balance system ini akan merugikan bangsa. Tujuan UU Dikdok adalah mengatur pendidikan kedokteran, meskipun belum berjalan dengan baik karena belum didukung oleh PP dan peraturan yang di bawahnya, namun diharapkan dapat memberikan kejelasan dan membawa pada peningkatan sistem kesehatan di Indonesia. Belum ada kurikulum yang mengarahkan distribusi dokter ke daerah rural. Arah kurikulum FK ini harus diperjelas sehingga lulusan dokternya pun siap menjadi peneliti, atau dokter di rural area, atau bersaing di internasional.

Pembahas pertama dari sesi ini adalah Prof. dr. Med. Tri Hanggono Achmad selaku ketua AIPKI. Beliau menyampaikan bahwa UU Dikdok ditujukan untuk menyuplai dokter ke seluruh wilayah Indonesia yang penentuan jumlahnya harus melibatkan Kemenkes. Langkah nyata dari tuntutan perbaikan sistem pendidikan kedokteran adalah dengan health system approach Medical Education (Health-Same) sebagai pencapaian akhir pendidikan kedokteran. Kunci untuk reformasi ini ada tiga aspek yaitu:

  1. tranformative learning, yang berarti reformasi kurikulum
  2. interdependent education, yang berarti reformasi institusi

Penerapan Health-Same ini berarti fakultas kedokteran bertanggung jawab dalam peningkatan sistem kesehatan di wilayah tersebut. Jika mampu, maka dapat membantu peningkatan kesehatan di wilayah lain yang belum ada FK-nya. Pendidikan kedokteran sebaiknya tidak hanya berhenti setelah lulus dari FK, melainkan terus setelah program internship. Diharapkan post internship, para dokter dievaluasi kembali untuk menyaring apakah menjadi dokter layanan primer, spesialis atau arah lainnya.

Tanggapan Prof. Tri Hanggono, tantangan yang pasti diatasi adalah pengelolaan institusi Fakultas Kedokteran serta meningkatkan peran FK tersebut untuk menguatkan sistem kesehatan karena kebanyakan institusi yang sudah punya basi internal yang kuat hanya memikirikan kemajuannya sendiri tapi kurang memikirkan daerah lain. Hal yang sedang diusahakan adalah program intership yang berdasarkan pada kebutuhan wilayah dan bukan untuk seluruh wilayah.

Hal ini serupa dengan pendapat dari dr. Purwadi yang menyampaikan bahwa perlu ada tujuan jelas dari setiap FK yang didirikan di setiap wilayah dan bukan saja hanya berorientasi materi saja. Outcome dari lulusan FK ini diharapkan bukan hanya IPK tapi kontribusinya terhadap penguatan sistem kesehatan setempat.

Dr. Hermanto dari Unair mempertanyakan tentang kurikulum rural medicine untuk Indonesia apa? Apakah sudah ada assessment-nya atau hanya karena mengikuti globalisasi saja? Tanggapan Prof. Laksono terhadap pertanyaan ini adalah bahwa assessment sudah ada dari data nakes yang sangat timpang sekali di rural area. Dr. Hermanto menegaskan bahwa maksud kurikulum rural medicine ini bukan merombak kurikulum yang sudah berjalan di daerah maju, namun untuk FK yang berada di daerah rural seperti di Papua atau daerah terpencil lainnya. Harapannya, FK di daerah rural mampu menerapkan kurikulum yang sesuai dengan kondisi kesehatan wilayahnya dan bukan bukan mengimpor kurikulum FK lain. Alasannya, karena akan sangat tidak cocok jika misal kurikulum dari FK UGM diterapkan di Univ. Cenderawasih karena perbedaan masalah kesehatan dan juga fasilitas kesehatannya.

Sesi terakhir yang membahas tentang kesiapan Fakultas Kedokteran untuk reformasi menghadirkan dosen perwakilan beberapa Fakultas Kedokteran, yaitu dr. Hendro Wartatmo Sp.B-KBD dan dr. Purwadi Sp.BA. Dalam sesi ini dibahas bahwa harus ada dedinisi operasional siapa saja dosen klinis (dosen klinis) tersebut dan juga siknkronisasi antara UU dikdok dengan UU guru dan dosen. Selain itu, perlu pasal khusus mengenai wahan pendidikan di RPP tentang dosklin. Peraturan ini pun juga harus diperjelas agar penafsiran tidak subyektif dan apakah berlaku untuk FK swasta dan FK di bawah kementerian lain juga.