Sesi 3

Konteks Kebijakan AIDS:
Epidemiologi dan Perilaku Beresiko

 

Pengantar

Kelompok AIDS secara aktif berdiskusi pada Jumat, 6 September 2013 pukul 08.00-10.00 WIB di Ruang Ruby, Hotel On The Rock, Kupang. Epidemiologi dan Perilaku Beresiko dalam konteks Kebijakan AIDS merupakan tema pertama yang diutarakan dalam pembahasan pada sesi pertama Kelompok AIDS pada Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia IV yang diselenggarakan di Kupang pada 4-7 September 2013. Pembicara yang terlibat dalam sesi ini berasal dari berbagai pihak, baik itu lembaga pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat lokal, maupun pihak LSM dan donor asing yang terkait dengan Kebijakan dan Program HIV AIDS di Indonesia. Sesi Kelompok AIDS kali ini dimoderatori oleh Iko Safika, M.PH, PhD.

31a

Mengapa Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku perlu dilakukan di Indonesia

Narasumber pertama berasal dari Kementrian Kesehatan yaitu Dr. Siti Nadia Wiweko (Kasubdit AIDS P2PL). Nadia menyampaikan paparan terkait Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku. Pada sesi hari ketiga kelompok AIDS, Nadia memaparkan bahwa secara umum Indonesia adalah negara dengan epidemi HIV/AIDS rendah, tetapi terkonsentrasi pada sub populasi berisiko. Terkait dengan hal ini pemerintah merasa perlu melakukan kegiatan pemantauan regular terhadap epidemi yang terjadi. Sejak tahun 1998 hingga 2011, sudah dilakukan beberapa survei integrasi antara HIV dan IMS serta survei perilaku atau yang sering disebut dengan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP). STBP sendiri sudah dilakukan pada 2007, 2009, dan 2011. STBP 2011 dilakukan di 11 provinsi yaitu Provinsi Sumatra Utara, Kepulauan Riau, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua. Provinsi tersebut sama dengan STBP 2007, kecuali Lampung dan Maluku.

Apa Tujuan Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku ?

  1. Mengetahui prevalensi Gonore, Klamidia, Sifilis, dan HIV serta menganalisa populasi paling berisiko dan menganalisa kecenderungannya.
  2. Mengetahui tingkat pengetahuan tentang penularan dan pencegahan HIV pada populasi paling berisko dan populasi rawan (remaja) dan menganalisa kecenderungannya.
  3. Mengetahui tingkat perilaku berisiko tertular atau menularkan HIV diantara populasi paling berisiko dan menganalisa kecenderungannya.
  4. Mengetahui cakupan internvensi pengendalian HIV dan IMS serta dampaknya pada kelompok populasi paling berisiko dan populasi rawan.

Siapa saja responden STBP

Kemudian, narasumber juga menjelaskan bahwa responden STBP adalah populasi usia >15 tahun berisiko tinggi tertular HIV dan populasi rawan tertular HIV (remaja), yang terdiri dari Wanita Pekerja Seks Langsung (WPSL), Wanita Penjaja Seks Tidak Langsung (WPSTL), Pria berisiko tinggi (Pria risti), Pengguna Napza Suntik (Penasun), Wanita-Pria (Waria), Lelaki suka Seks dengan Lelaki (LSL), Narapidana, dan murid kelas 11 9SMA) untuk mewakili populasi remaja, kelompok lelaki supir truk, tukang ojek, pelaut dan Tukang Bongkar Muat (TKBM). Populasi STBP 2011 sama dengan STBP sebelumnya, kecuali narapidana baru dimasukkan pada STBP 2011. Total responden adalah 25.150 dengan pembagian WPS 7304, Pria Risti 4899 (Pelaut, TKBM, Supir truk, Tukang ojek), Waria 1089, LSL 1250, Penasun 1420, WBP 2000, dan Remaja (pelajar SLTA) 7022.

Penutup

Kesimpulan dari hasil survei pada seluruh kelompok sasaran adalahdibanding STBP 2007, pola prevalensi HIV antar kelompok sasaran cenderung tetap, sedangkan prevalensi Infeksi Menular Seksual (IMS) mengalami perubahan. Pada pola perilaku tidak terjadi peningkatan perilaku penggunaan kondom secara konsisten pada seks berisiko.Sedangkan pada sisipengetahuan komprehensif tentang HIV-AIDS pada seluruh kelompok sasaran mengalami penurunan (Pengetahuan komprehensif mengukur tingkat pengetahuan pencegahan dan penularan HIV-AIDS tentang lima hal berikut: (1) tidak dapat mengetahui ODHA hanya dengan melihat; (2) setia terhadap pasangan dapat mencegah penularan HIV; (3) penggunaan kondom dengan benar dapat mencegah penularan HIV; (4) penggunaan alat makan bersama dengan ODHA tidak dapat menularkan HIV; (5) gigitan nyamuk/serangga tidak dapat menularkan HIV.)Untuk selanjutnyapada penggunaan napza suntik pada kelompok sasaran selain penasun cenderung tetap.Sedangkanperilaku berbagi jarum pada penasun cenderung turun.

Tujuan Survei Cepat Perilaku (SCP)

Pada sesi kedua pemaparan Kelompok AIDS pada 6 September 2013, Halik Sidik (Asisten Deputi Penguatan Kelembagaan-Komisi Penanggulangan AIDS Nasional/KPAN) memaparkan hasil survei dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional mengenai Survei Cepat Perilaku Penasun (Pengguna napza suntik) dan Wanita Pekerja Seksual (WPS) Tahun 2010, 2011, dan 2013. SCP Penasun WPS dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran akses terhadap program dan pola perilaku berisiko Penasun di 9 kota serta WPS di 12 kabupaten/kota dengan jumlah WPS terbanyak. Tujuan khusus SCP WPS adalah untuk mengetahui karakteristik WPS, untuk mengetahui akses WPS terhadap program dan perilaku penggunaan kondom dengan menggunakan rancangan survei kuantitatif berbasis komunitas dimana hasil survei dapat digeneralisir pada populasi penasun di lokasi SCP.

31b

Di mana saja lokasi SCP Penasun dan WPS dilakukan?

SCP Penasun dilakukan di Medan, DKI Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Makassar. Sedangkan SCP WPS dilakukan di Jakarta barat, Semarang, Malang, Banyuwangi, Denpasar, Indramayu, Bintan, Palembang, Makassar, Jayapura, Sorong dan Simalungun.

Kesimpulan hasil SCP

Upaya mengubah perilaku pada Penasun relatif berhasil sementara pada Pembeli Seks belum berhasil dengan melihat rendahnya kesadaran akan pemakaian kondom pada saat berhubungan dengan WPS. Kemudian, dari hasil pemaparan kesimpulan SCP muncul pertanyaan terkait dengan kebijakan bahwa: Apakah rendahnya perubahan perilaku pada pembeli seks disebabkan karena skala intervensi yang masih rendah atau karena metodologi intervensinya, atau karena keduanya? Sumber daya dan manajemen bisa jadi menjadi solusi dan pendekatan untuk mengatasi masalah secara skala dan gabungan keduanya. Namun apabila masalahnya terletak pada Metodologi intervensinya, pemerintah masih memiliki tugas untuk mencari pendekatan dan solusi yang paling sesuai dengan kondisi perkembangan persebaran HIV/AIDS di Indonesia saat ini.


Narasumber 3:

Silvy Devina – HCPI (HIV Cooperation Program Indonesia)
Survey Terpadu Biologi dan Perilaku di Lapas (Integrated Biological and Behavioral Surveilance) (IBBS)

HIV Cooperation Program Indonesia (HCPI) adalah sebuah proyek di bawah naungan Burnet Institute Australia yang memiliki program membantu Indonesia dalam merencanakan, membangun, dan mengiplementasikan penanganan yang efektif dan berkelanjutan terhadap HIV.

31c

Latar Belakang Peneltiian diadakannya STBP terhadap WBP

Ibu Silvy Devina memulai pemaparannya pada pertemuan sesi Kelompok HIV dengan menjelaskan bahwa latar belakang diadakannya penelitian Prevalensi HIV dan SIfilis (2010) dan HIV dan HCV (2012) dan Perilaku Berisiko karena prevalensi HIV pada WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) lebih tinggi daripada komunitas umum. (Dolan J. et al 2007) dan menurut estimasi dari sekitar 140.000 WBP di Indoensia, 5000 sudah terinfeksi HIV (3,6%) (kemenkes, 2009). Melihat angka yang cukup signifikan tersebut, HCPI membuat sebuah studi pada tahun 2010 dan 2012.

Tujuan Studi 2010 dan 2012 adalah untuk:

  1. Mengetahui prevalensi HIV dan Sifilis (2010) dan HIV dan HCV (2012)
  2. Mengidentifikasi perilaku berisiko penularan HIV dan HCV: Penggunaan jarum suntik untuk menyuntikkan napza, praktek tato, tindik, pemasangan aksesoris kelamin.
  3. Menilai pengetahuan WBP tentang penularan dan pencegahan HIV dan HCV.

Kesimpulan dan Rekomendasi Studi 2010 dan 2012

Seperti dijelaskan oleh Ibu Devina, Prevalensi HIV pada WBP di Lapas Narkotika lebih tinggi dibandingkan di Lapas Umum (6,5% berbanding 1,1%). Prevalensi HIV lebih tinggi pada WBP perempuan (2010) dan Perilaku berisiko pada WBP laki-laki: penasun, tato, tindik, dan aksesoris kelamin.

Sebagai penutup HCPI meberikan rekomendasi dari hasil studi yang mengacu pada penemuan hasil akhir penelitian dengan mengingat pentingnya upaya pencegahan, perawatan dan dukungan terhadap populasi kunci dalam hal ini WBP.

  1. Membangun kerjasama, jejaring, sistem rujukan layanan deteksi dini dengan penyedia layanan kesehatan HIV/AIDS.
  2. Menyediakan pemutih, kondom, jarum suntik steril dan menginkatkan layanan methadone dan rehabilitasi/ detoksifikasi di Lapas.
  3. Kajian terhadap program KIE
  4. Pelatihan program HIV/AIDS untuk petugas Lapas/Rutan
  5. Pendekatan alternative penahanan penasun, pengurangan masa hukuman, dan de-kriminalisasi pengguna Napza.
  6. Program deteksi dini, pemeriksaan dan pengobatan IMS khusus WBP perempuan.

Narasumber 4:

Ibu Retno Mardiyati – Yayasan Spiritia
Faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV pada ODHA di Indonesia

Yayasan Spiritia adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang didirikan pada 1995 sebagai kelompok dukungan sebaya oleh dan untuk orang yang terinfeksi HIV (Odha) dan terpengaruh oleh HIV (Ohidha).

Topik bahasan oleh narasumber dari Yayasan Spiritia berfokus pada penelitian yang memberikan dukungan terhadap Orang Dengan HIV AIDS (ODHA).

Mengapa ada Terapi Kepatuhan terhadap ARV?

HIV merupakan salah satu penyakit yang treatable tapi belum curable karena belum ditemukan obatnya.Sehingga seorang ODHA harus mengonsumsi obat ARV seumur hidup dan tepat waktu.Jadwal ketat minum obat HIV ini tidak boleh meleset agar bisa menekan jumah virus di tubuh. Jika tidak disiplin obat justru akan menjadi resisten terhadap tubuh.Karenanya ODHA harus mengonsumsi obat ARV untuk mempertahankan kekebalan tubuhnya.

Mengapa Penelitian ini diadakan?

Ibu Retno memberikan penjelasan mengenai latar belakang pentingnya penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV pada ODHA di Indonesia.

•  Menurunkan risiko kematian
•  Mengurangi angka kesakitan
•  Mengurangi jumlah virus
•  Meningkatkan daya tahan tubuh

Lokasi Penelitian meliputi Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Bangka, Belitung, Lampung dan DKI Jakarta.Responden utama adalah ODHA dengan kepatuhan 95% berjumlah 16 orang.Responden pendukung adalah Ohida 14 orang, Petugas kesehatan 10 orang, dan dukungan sebaya 5 orang.

Karakteristik yang berhubungan dengan kepatuhan minum ARV meliputi umur, gender, waktu, status HIV, pergantian rejimen ARV. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dalam terapi ARV dikategorikan dalam: Faktor personal, Faktor sosial, faktor Lupa dan Cara Mengingat, peran Ohida, dan Obat.

Hasil Penelitian dan Rekomendasi

Narasumber menjelaskan kesimpulan mengenai hasil penelitian bahwa berdasarkan analisis multivariat, variable dominan yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV adalah mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat (peran Ohida).

Berkaitan dengan kompleksnya terapi ARV baik itu ditinjau dari faktor personal, faktor sosial, faktor Lupa dan Cara Mengingat, peran Ohida, dan Obat, hasil temuan penelitian merekomendasikan hal-hal yang perlu dilakukan.

Kementrian Kesehatan perlu melakukan:

  1. Segera menerapkan penggunaan obat yang lebih disederhanakan untuk mengurangi jumlah pil yang digunakan dan mengurangi frekuensi minum obat dengan kombinasi dosis tetap
  2. Memperbaiki pendataan dan pelaporan pengguna obat untuk menghindari ketidaktersediaan stok obat di tempat layanan

Rumah Sakit Rujukan dan Puskesmas perlu:

  1. Memperhatikan peningkatkan kepuasan pasien terhadap layanan yang diberikan melalui peningkatan kenyamanan klinik/tempat layanan, jadwal dokter yang sesuai dengan kebutuhan pasien, durasi waktu menunggu yang lebih singkat, meningkatkan keterampilan komunikasi antara dokter dan pasien.
  2. Meningkatkan kualitas layanan dengan mengurangi stigma dan diskriminasi di tempat layanan
  3. Meningkatkan kepedulian dan keterampilan para pemberi layanan kesehatanMeningkatkan keterlibatan pasien dalam layanan
  4. Mempermudah jangkauan/akses pasien ke tempat layanan melalui penyediaan layanan atau layanan satelit yang lebih banyak
  5. Menyediakan layanan terintegrasi (satu atap)
  6. Meningkatkan jumlah dokter sehingga rasio dokter dengan pasien tercukupi.
  7. Dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu membantu mengingatkan Odha dalam meningkatkan kepatuhan dengan cara pengoptimalan teknologi sederhana seperti penggunaan alarm.

KP, KDS, dan pihak keluarga perlu:

  1. Memberikan pengetahuan esensial mengenai cara penularan, pengobatan, efek samping, kepatuhan, resistensi dan motivasi dan pendukungan minum obat.
  2. Mengembangkan strategi dukungan kesebayaan lebih kuat dimana pendukung sebaya tidak hanya berdasarkan status HIV tetapi juga kesebayaan berdasarkan populasi risiko dan telah terapi ARV khususnya yang berkepatuhan tinggi sehingga dapat menjadi model.
  3. Perlu meningkatkan jumlah dan mutu pendukung sebaya dalam memotivasi dan mempersiapkan odha menggunakan ARV.

ODHA perlu:

  1. Meningkatkan rasa percaya diri dengan melalui keterlibatan diri dalam kegiatan dukungan sebaya.
  2. Meningkatkan pengetahuan ARV sehingga memotivasi diri Odha untuk kesiapan memulai dan mempertahankan kepatuhan ARV.
  3. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya melaporkan efek samping yang dialami kepada dokter.
  4. Mengetahui faktor atau potensi yang menyebabkan penghambat kepatuhan dan mencari akses akan dukungan dan rujukan untuk mengatasinya.
  5. Meningkatkan kesadaran Odha dalam memulai terapi tepat waktu sesuai pedoman yang berlaku.
  6. Membuat manajemen waktu pribadi yang sesuai dengan aktivitas pribadi dan waktu minum obat

Penutup

Pencapaian untuk semua rekomendasi diatas membutuhkan wadah dukungan sebaya dan pemberi layanan kesehatan primer. Kedua wadah tersebut akan berjalan dengan baik jika penguatan sistem komunitas dan penguatan sistem kesehatan terselenggara dengan baik di tingkat lokal dan nasional.