Sesi Inspire Plenary
Sesi Inspire Plenary
Pada Rabu, 9 Agustus 2017, bertempat di Hotel Westin GAMA Tower, Jakarta Pusat, diselenggarakan kegiatan sharing knowledge dalam sebuah platform yang bernama Indonesia Development Forum (IDF). Forum ini merupakan platform bagi pemimpin Indonesia di pemerintahan, sektor swasta, akademisi, dan anggota masyarakat lainnya untuk berkolaborasi membentuk agenda pembangunan Indonesia. Platform ini diprakarsai oleh Bappenas. Tahun ini, IDF mengambil tema Inspire, Imagine, dan Innovate. Ketiga tema ini kemudian menjadi judul besar dalam sesi diskusi yang berlangsung di dalamnya. Kegiatan ini memiliki beberapa sesi diskusi yang berlangsung secara paralel. Salah satu sesi diskusi yang diikuti oleh PKMK FK UGM adalah sesi Inspire Plenary. Sesi ini dipandu oleh Alvito Denova (Moderator) dari CNN Indonesia. Dalam sesi ini terdapat 4 orang narasumber yang sangat berkelas dan memiliki banyak pengalaman serta pengetahuan yang komprehensif yang berkenaan dengan topik “Inequality and Its Context”.
Narasumber dalam sesi ini adalah Prof. Bambang P.S. Brodjonegoro, Ph.D, Menteri Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Indonesia, Chris Tinning (Chief Economist – Development, Department of Foreign Affairs and Trade Australia), Hob. Tevita Lavemaau (Minister of Finance and National Palnning of Tonga), dan Prof. Mari Elka Pangestu (Broad of Trustees at Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta).
Sejalan dengan topik yang diangkat, sesi ini banyak sekali mengulas terkait dengan ketimpangan dan segala aspek di dalamnya. Isu GDP Nasional, kesenjangan sosial, masalah kebijakan, serta strategi dan tantangan dalam pengentasan ketimpangan dan kemiskinan menjadi diskusi yang sangat mengena untuk peserta. Hal ini didukung juga dengan para narasumber yang komunikatif dalam menyampaikan materi presentasinya.
Permasalahan kemiskinan dan ketimpangan yang terjadi di Indonesia, memiliki pengaruh terhadap kontinuitas dan kualitas pembangunan di Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh 4 faktor utama yaitu ketimpangan penguasaan lahan dan tanah, ketidakadilan dalam pasar tenaga kerja, lemahnya rantai nilai antara sektor usaha, dan permasalahan konektivitas. Dari faktor ini diketahui bahwa dimensi ketimpangan itu bukan hanya masalah kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, namun berbagai pihak baik itu pemerintah, swasta, dan bahkan masyarakat sendiri termasuk dalam elemen yang menyusun kesuksesan pembangunan Indonesia. Mengurangi ketimpangan secara absolut memiliki banyak sekali area yang harus diperbaiki. Pertumbuhan dan pembangunan yang lebih baik dilakukan dengan upaya antara lain, menurunkan angka stunting, menurunkan kemiskinan, memberikan peluang pekerjaan, menurunkan ketimpangan kekayaan, dan menguatkan industri berbasis rakyat.
Menunjang upaya tersebut, diperlukan pula praktek cerdas yang dapat mencakup elemen targetting, pendampingan, dan sektor prioritas. Perlu digarisbawahi bahwa dalam upaya pembangunan ini, keberlanjutan income masyarakat dilihat dengan target sebagai awal perencanaan tetapi dibarengi dengan adanya pendampingan yang jelas/serius. Upaya mengurangi kemiskinan juga menjadi salah satu bagian kerjasama yang dapat mulai dibangun oleh pemerintah dan sektor usaha swasta yang memiliki best practice dan pilot activities untuk meningkatkan kemandirian dan penghasilan masyarakat.
Secara umum dikatakan bahwa ketimpangan ini merupakan sesuatu yang mempengaruhi pertumbuhan kapasitas negara dalam mengayomi rakyatnya, dimana seharusnya jika ada pertumbuhan yang positif, seharusnya hal ini dapat menurunkan ketimpangan. Sehingga, ke depan ketimpangan ini tidak menyebabkan dampak ketidakstablian sosial dan konflik. Dari pemerintah diperlukan program-program yang komprehensif, holistik, sistematik dan longterm.
Reporter : Aulia Novelira, SKM.,M.Kes
Sesi Innovate 1
The role of development partners in addressing inequality (Kamis, 10 Agustus 2017)
Sesi yang dipandu oleh Dr. Tony Prasentianto ini membahas bagaimana peran-peran dan upaya - upaya yang dilakukan oleh sektor swasta, khususnya agensi-agensi internasional seperti IFAT, World Bank, ADS, IDB dalam membantu pemerintah Indonesia untuk mengurangi ketimpangan dan menurunkan kemiskinan di Indonesia.
Meskipun pemerintah Indonesia sudah berupaya menurunkan ketimpangan di berbagai wilayah Indonesia, tetapi ketimpangan ini masih menjadi masalah utama di Indonesia. Kendati APBN untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur hingga Papua, anggaran ini masih belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk itu, dibutuhkan sektor swasta untuk mengurangi kemiskinan dan isu ketimpangan di Indonesia.
Adapun kontribusi-kontribusi yang diberikan oleh agensi - agensi internasional ini diantaranya bagaimana mereka dapat memberikan pengalaman-pengalaman internasional dan evidence-based apa yang seharusnya dilakukan oleh Indonesia, termasuk kebijakan-kebijakan apa saja yang diperlukan dan bagaimana implementasi dari kebijakan tersebut untuk mengurangi ketimpangan. Selain itu, agensi internasional juga dapat memberikan kontribusi dalam hal finansial untuk meningkatkan produk-produk pertanian dan mengatasi kemiskinan masyarakat rural serta menurunkan kemiskinan ekstrim maupun meningkatkan pertumbuhan pendapatan. Instrumen - instrumen dan perangkatnya untuk merangkul pemerintah dan sektor swasta, membangun dialog antar stakeholders serta bantuan teknis dengan fokus pada pembiayaan dan support system untuk pelaksanaan program/proyek pembangunan juga menjadi prioritas agensi internasional dalam mengatasi masalah ketimpangan. Selain itu, koordinasi antar agensi internasional juga dilakukan agar program-program bantuan tersebut dapat bersinergi satu dengan yang lainnya. Satu hal yang paling penting adalah bagaimana agensi-agensi ini mengembangkan program-program inovatif untuk mengatasi permasalahan berdasarkan kebutuhan lokal.
Sekarang ini agensi-agensi internasional ini berupaya untuk mendorong dan mengakselerasi kontribusi sektor swasta serta mengembangkan partnership sektor publik dan swasta dalam rangka mencapai sustainable rural development dengan menciptakan enabling environment dan mencapai outcome pembangunan itu sendiri. Tentunya peran sektor swasta maupun masyarakat sipil untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya menurunkan kemiskinan juga sangat diperlukan.
Reporter: Christa Dewi, PhD
Sesi Inspire VII
Inequality in opportunities in Indonesia (Rabu, 9 Agustus 2017)
Sesi Inspire VII mengangkat tema mengenai ‘Inequality of opportunities in Indonesia’ dengan host Sudarno Sumarto. Dalam sesi ini, lima orang presenter menyampaikan gagasan mengenai bagaimana mengatasi ketimpangan-ketimpangan dengan melihat dimensi lain dari ketimpangan serta sumber-sumber ketimpangan itu sendiri. Kelima narasumber baik dalam negeri maupun luar negeri menyampaikan berbagai dimensi ketimpangan yang terjadi di bidang pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, pengambilan keputusan, ranah legislatif bahkan lintas generasi yang terjadi di Indonesia sampai saat ini.
Pada sesi ini, para presenter menyampaikan berbagai contoh ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, baik antara rural dan urban, di wilayah Jawa maupun luar Jawa, antara si kaya dan si miskin. Bagaimana indikator-indikator pencapaian kesehatan masih sangat tertinggal bagi masyarakat rural, adanya gap antara si kaya dan si miskin dalam mengakses lapangan pekerjaan formal, masih rendahnya keterwakilan perempuan dalam kelembagaan pemilu maupun birokrasi kendati produk-produk legislatif yang mengedepankan kepentingan perempuan sudah semakin banyak. Bahkan sebuah studi yang menggunakan data IFLS mengungkapkan ketimpangan lintas generasi, dimana apabila ketimpangan itu terjadi pada satu generasi, maka akan berlanjut ke generasi berikutnya.
Sedangkan solusi untuk mengatasi ketimpangan ini dari berbagai dimensi tersebut masih sangat minim karena studi maupun survey yang dilakukan saat ini seringkali menggunakan pendekatan-pendekatan yang tidak dapat memotret dimensi kemiskinan dan ketimpangan dari perspektif kelompok marjinal itu sendiri. Sehingga seringkali solusi-solusi yang ditawarkan tidak berangkat dari local wisdom kelompok-kelompok tersebut.
Reporter: Christa Dewi, PhD