Reportase Diskusi Outlook 2019: Kebijakan Obat dan Teknologi Kedokteran
Senin, 4 Februari 2019
Diskusi Outlook ke - 7 membahas “Kebijakan Obat dan Teknologi Kedokteran”. Narasumber pertama adalah Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc, PhD yang membahas manajemen obat. Aspek obat dalam JKN berhubungan dengan regulator (sering terlambat), provider (langkanya obat) dan industri (sering miss-match kapasitas dan kebutuhan). Obat yang dibutuhkan sering mengalami kendala tidak ada izin edar padahal dibutuhkan pasien. Butuh waktu, karena bahan-bahan dalam pembuatan obat merupakan produk impor.
Reformasi kesehatan terkait manajemen obat memang membutuhkan siklus baru. Rencana Kebutuhan Obat (RKO) memang menjadi kendala utama dalam ketersediaan obat. Stok sering habis di rumah sakit dan apotek, akibatnya sering terjadi belanja obat di luar fornas. Pengaturan obat dalam JKN diatur dalam 6 instrumen, yaitu formularium nasional, obat di luar tarif INA-CBGs, obat program rujuk balik (PRB), obat yang belum diatur dan e - katalog.
Iwan dalam persentasinya memaparkan bahwa jumlah item dan sediaan obat fornas mengalami peningkatan setiap tahunnya, penggunaan obat generik, branded dan patent dalam fornas juga mengalami perkembangan. Obat dalam fornas tidak didominasi oleh generik saja. Namun, dalam pelaksanaannya selama 5 tahun fornas memiliki tantangan sebagai berikut usulan obat cenderung high cost atau tidak memenuhi kaidah cost -effectiveness; selalu terdapat gap antara daftar dalam fornas dengan e - katalog; industri multinasional cenderung menggunakan harga global di keterbatasan JKN; pengawalan mutu obat dan single winner.
Peran rumah sakit dalam mengusulkan/ merencanakan obat diketahui bahwa belum semua rumah sakit memasukan perencanaan kebutuhan obat, hal ini menyebabkan sulit dikelola dengan baik. Rencana Kebutuhan Obat (RKO) di rumah sakit atau faskes lainnya mengalami dilema yaitu masalah akurasi, belum didasarkan pada data riil, kesiapan industri, ketersediaan obat di beberapa kabupaten/ kota dan rumah sakit swasta yang belum dapat melakukan e -purchasing.
Dr. dr. Fathema Djan Rachmat, Sp.B, Sp.BTKV (K) (Direktur Utama RS Pelni) selaku pembahas turut menyampaikan bahwa perlu siklus baru dalam reformasi kesehatan sektor manajemen obat yang telah melibatkan rumah sakit dalam volume yang lebih besar. Memasuki UHC ada suatu hal menarik bahwa rumah sakit mengalami kesulitan mendapat obat. Rumah sakit mengeluarkan cost lebih besar karena membeli di luar rencana. Ketika harga obat sudah ramah di katalog, tetapi masih belum bisa dinikmati rumah sakit. Reformasi kebijakan kesehatan bidan manajemen obat memiliki tantangan pada 2019 bahwa tidak hanya volume, tetapi value layanan pasien, program rujuk balik dan ketersediaan obat di faskes 1 harus menjadi perhatian bersama. Reformasi kebijakan manajemen obat membutuhkan 3 unsur yaitu rumah sakit, farmasi, asuransi volume to value health care based.
Nara sumber kedua adalah Dra. Erna Kristin, M.Si., Apt yang mengulas Health Technology Assessment (HTA) bahwa kita harus membuat prioritas terhadap dampak teknologi kesehatan yang masuk ke Indonesia. HTA tidak mudah dilakukan, karena adanya kesulitan dalam melakukan pemetaan siapa melakukan apa, tentunya dalam hal ini juga membutuhkan sumbangsih disiplin ilmu lainnya. Erna Kristin menyampaikan ada 10 langkah dalam melakukan HTA. HTA membawa keuntungan pada klinik, keamanan dan cost effectiveness, namun kita memiliki tugas besar yaitu membuat sistem data kesehatan berbasis teknologi yang terintegrasi dan terpadu, regulasi yang mendelegasikan kewenangan oleh insitusi terkait tugas dan tanggung jawabnya dengan jelas dan independesi assessment yang bekerja sama dengan perguruan tinggi masing - masing wilayah.
Pembahasan manajemen obat dan HTA dimungkinkan akan terus berlangsung melihat antusias penanya dan usulan yang masuk dalam sesi outlook pagi ini. Untuk yang memiliki perhatian terhadap topik tersebut dapat terus mengakses website kebijakankesehatanindonesia.net untuk informasi selanjutnya.
Reporter: Tri Aktariyani (PKMK UGM)
{jcomments on}