Kemkes Akan Rilis Vaksin Baru Imunisasi
Jakarta - Mulai Juni tahun ini, Kementerian Kesehatan (Kemkes) akan memperkenalkan vaksin baru untuk paket imunisasi dasar lengkap.
Hal ini bertujuan untuk mempercepat angka kematian bayi dan anak dalam rangka mencapai Millenium Development Goals (MDGs) 2015.
Vaksin baru tersebut adalah vaksin pentavalent (DPT/HB/Hib), yang menggantikan vaksin DPT-HB. Vaksin Haemophilus influenza tipe b (Hib) diberikan dalam vaksin kombinasi DPT/HB/Hib pada usia yang sama dengan pemberian vaksin DPT/HB. Vaksin ini berguna untuk mencegah penyebaran bakteri Hib di dalam darah (bakterimia), infeksi saluran nafas berat (pneumonia), dan radang otak (meningitis).
"Ada lima antigen sekaligus yang dijadikan satu di dalam satu vaksin ini, yakni untuk mencegah difteri, batuk rejan, tetaus, hepatitis B lanjutan, dan bakteri Hib," kata Theresia Sandra Diah Ratih, Kepala Sub Direktorat Imunisasi Kementerian Kesehatan (Kemkes) dalam media workshop yang digelar Kemkes bekerjasama dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di Jakarta, Jumat (19/4).
Theresia mengatakan, pemerintah Indonesia baru hanya mampu menyediakan tujuh vaksin secara gratis. Di negara lain, lebih dari itu, bahkan ada yang mencakup hingga 12 vaksin, dan idealnya semua penyakit.
Hal ini, kata dia, karena keterbatasan anggaran pemerintah untuk mengitroduksi vaksin baru. Untuk hal tersebut, harus menghitung co-infeksi nasional, atau membandingkan efisiensi program imunisasi dengan intervensi lain, dan juga mempertimbangkan jumlah penyakit atau masalah.
Misalnya, harga vaksin rotavirus, penyakit yang menyebabkan diare, sebagai penyebab kematian terbesar pada anak mencapai Rp1 juta. Dengan jumlah anak setiap tahunnya sekitar 4 jutaan, maka dibutuhkan anggaran sekitar Rp 4 triliun. Sementara anggaran untuk imunisasi diperkirakan hanya sekitar Rp 600 miliar setiap tahun dari total anggaran Kemkes berkisar Rp30 triliunan.
"Karena itulah selain ada prioritas untuk vaksin, kami juga gencar kampanyekan program yang lebih cost effective yakni kebiasaan menjaga kebersihan dan mencuci tangan pakai sabun," katanya.
Di sisi lain, kata dia, kesadaran masyarakat untuk imunisasi masih kurang. Kenyataannya, cakupan imunisasi lengkap anak Indonesia baru mencapai sekitar 87%.
Beberapa sekolah sebagai tempat pendidikan sekaligus komunitas anak, guru, dan orang tua, bahkan belum mendukung program imunisasi.
Terutama sekolah swasta di kota besar, yang menolak imunisasi dengan berbagai alasan, seperti orang tua siswa keberatan dan komplain ke guru karena setelah diimunisasi anaknya jatuh sakit, dan lainya.
Spesialis Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr Soedjatmiko mengatakan, cakupan imunisasi di Indonesia masih rendah dibanding negara lain, karena kurangnya pemahaman, dan masyarakat mudah terprovokasi.
Masyarakat masih termakan mitos yang secara penelitian ilmiah bertentangan dan keliru.
Di antaranya imunisasi diisukan sebagai upaya kelompok Yahudi dan Amerika Serikat untuk melemahkan anak-anak Muslim.
Kenyataannya, sampai saat ini 194 negara yang secara rutin melaksanakan imunisasi. Termasuk di dalamnya, negara Muslim, seperti Arab Saudi, Malaysia, Mesir, dan negara maju dengan status gizi dan layanan kesehatan sangat baik, seperti Jepang, Amerika Serikat, Israel, Perancis, Belanda, Libia.
Cakupan di negara-negara itu bahkan mencapai lebih dari 90%. Artinya, sebanyak itu pula anak-anak mereka terlindungi dari wabah penyakit.
Sementara cakupan Indonesia hampir sama dengan negara miskin dan status gizi buruk, seperti Nigeria, yakni sekitar 80%.
"Ironisnya Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar, memiliki jumlah anak terbanyak, masalah gizi dan beragam penyakit dengan fasilitas kesehatan masih kurang, tetapi imunisasinya kurang," katanya.
Ia mengatakan, sampai saat ini belum ada negara yang melarang imunisasi, justru semuanya berusaha meningkatkan cakupan lebih dari 90%.
(sumber: www.beritasatu.com)