Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi Terbujuk Bisikan Asing Soal Tembakau?
Pernyataan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang menilai Rancangan Undang-Undang Pertembakauan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas desakan pengusaha rokok beberapa hari lalu ditanggapi Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri). Menurut Sekjen Gappri, Hasan Aoni Aziz US, pernyataan Menkes tersebut mengecilkan arti tembakau bagi petani.
"Menkes mungkin sedang flanking (berkelit) untuk tidak berhadap-hadapan dengan petani, sehingga paling mudah ya kritik pengusaha," katanya, seperti yang tercantum dalam rilis yang dikirim ke redaksi Tribunnews.com, Kamis (21/3/2013).
Hasan mengingatkan bahwa ini tahun politik, jadi jangan kompori hal-hal yang bisa menjadikan kondisi tidak stabil. Kalau pernyataan Menkes terus-menerus seperti itu, nanti kalau petani datang ke Jakarta jangan salahkan mereka.
"Kami khawatir, pernyataan Menkes yang sangat anti tembakau itu bisa mendorong ribuan petani berduyun-duyun datang ke Jakarta dan protes,"imbaunya.
Tembakau bagi petani adalah hak hidup, hak ekonomi untuk memilih tanaman apa yang bebas dipilih mereka. Hasan mempertanyakan apa bisa dijamin jika tembakau tidak ditanam lalu petani akan lebih sejahtera? Apa bisa dijamin jika menanam tanaman lain lalu harga jadi lebih baik? Apa juga bisa dijamin jika tidak ada asap rokok dari tembakau itu, lalu tidak akan ada asap lain yang jauh lebih berbahaya?
"Soal bahaya asap rokok kan sudah diatur. Tetapi tembakaunya sebagai tanaman belum diatur. Petani meminta hak ini," tegasnya.
Jadi, upaya Menkes melarang dan mendrop RUU Pertembakauan adalah sikap yang tidak arif sebagai seorang pejabat bahkan cenderung semena-mena.
"Apa Menkes akan manut saja dengan bisikan dari asing? Apa Menkes memang memusuhi petani tembakau dan menganakemaskan pengusaha farmasi?," tanyanya.
Hasan menilai kritik yang dilakukan Menkes sebetulnya seperti peribahasa "menepuk air didulang, terpercik muka sendiri". Dengan program kesehatan yang didukung dana farmasi asing, sama halnya Menkes tengah mempertahankan bisnis obat-obatan farmasi melalui rumah sakit.
Kita tahu banyak dokter binaan Menkes yang hidupnya dari fee obat-obatan farmasi yang dirujuknya. Bahkan, sampai obat dan biaya rumah sakit jadi mahal dan rakyat miskin dilarang sakit. Banyak pihak menduga karena kong-kalingkong ini.
"Ini sudah common sense. Saya kira ini yang harusnya diurus Menkes. Jangan sampai nanti LSM anti korupsi dan KPK memeriksa Menkes dan seluruh jajarannya karena hal itu," ungkapnya.
Lebih lanjut Hasan mengungkapkan, industri farmasi asing setelah menghajar tembakau dan rokok di berbagai negara, sekarang menjual obat-obatan pengganti nikotin (nicotine replacement therapy) dengan nilai ratusan juta dolar. Dalam hal ini kecurigaan Wanda Hamilton, dosen dan penulis di Amerika Serikat terhadap peran farmasi dalam gerakan anti-tembakau benar adanya.
"Kami justru curiga, jangan-jangan komentar Menkes ini adalah upaya pengalihan isu karena gagal dalam menangani pasien di rumah sakit. Kan banyak kematian bayi dan orang miskin karena rumah sakit terbatas palayanannya," ujarnya.
Terkait RUU Pertembakauan, RUU ini memberikan ruang kebebasan bagi petani untuk berusaha. Jika melihat laporan Baleg DPR, ada banyak naskah akademik (NA) dari berbagai perguruan tinggi untuk RUU ini.
Hasan menyarankan jika Menkes mempunyai usulan sebaiknya sampaikan melalui saluran yang ada. Sehingga, diharapkan suatu UU kelak akan mengakomodir semua pihak secara proporsional dan bertanggung jawab.
"Kami sarankan mari kita slow down, tidak memicu kegaduhan politik di tengah kesulitan petani dalam mempertahankan hak hidupnya, juga di tengah rakyat akhir-akhir ini meminta hak mendapatkan pelayanan kesehatan secara layak.
(sumber: www.tribunnews.com)