Pasien BPJS Bisa Tak Dilindungi UU Konsumen
JAKARTA, PKMK - Pasien pengguna layanan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan bisa tidak dilindungi oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sebab, dalam undang-undang tersebut, yang diatur adalah relasi antara konsumen dengan pelaku usaha, termasuk jasa layanan kesehatan. Sementara, bentuk penyedia jasa layanan kesehatan saat ini bervariasi. "Rumah sakit kan ada yang berbentuk PT (perseroan terbatas), unit pelaksana teknis, dan yayasan," kata Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, di Jakarta, Kamis (4 April).
Di samping itu, kata Sudaryatmo, saat ini masih belum jelas apakah BPJS Kesehatan berbentuk badan usaha atau bukan. "Jadi, sebaiknya semua hal itu harus clear sebelum BPJS Kesehatan berjalan. Jangan menyisakan grey area," dia berkata.
Apa akibatnya bila grey area itu masih tersisa sementara BPJS Kesehatan berjalan? Jawab Sudaryatmo, konflik horisontal antara pasien dengan penyedia layanan kesehatan bisa terjadi. "Bisakah pasien menuntut sebagai konsumen kalau kondisi tersebut belum diperbaiki?" kata dia.
Di negara lain seperti India, telah diperjelas bahwa jasa layanan kesehatan gratis tidak bisa digugat melalui Undang-undang Perlindungan Konsumen. Jadi, di India, Undang-undang Perlindungan Konsumen hanya bisa dipakai untuk menggugat penyedia jasa layanan berbentuk PT. "Di India, perlindungan buat dokter dalam menghadapi gugatan pun jelas. Dokter diasuransikan sehingga ada yang menjamin manakala ada gugatan dari pasien," ia menambahkan.
YLKI mendorong adanya mekanisme yang melahirkan rasionalitas dalam pengobatan. "Terus terang, dengan people service seperti BPJS, ada hal yang kurang rasional. Karena tidak ada kontrol dan pasien dalam posisi yang lemah."
Di satu rumah sakit swasta di Jakarta, karyawannya mesti membayar iuran Rp 90.000 per bulan untuk mendapatkan semua pelayanan kesehatan kelas III. "Nah, dengan iuran BPJS yang di Rp 15.000-an per orang per bulan, apakah itu rasional?" kata Sudaryatmo.