Pasien RS Muhammadiyah Terancam Telantar
Jakarta, PKMK. Ratusan ribu pasien di RS ataupun klinik naungan Muhammadiyah terancam tidak terlayani saat Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan beroperasi pada awal 2014. Hal itu terjadi jika RS dan klinik itu tetap harus mempunyai badan hukum khusus RS seperti yang ditetapkan Pasal 7 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Hal yang menjadi ironi, sebenarnya semua RS dan klinik itu meringankan beban Pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan layanan kesehatan. Hal tersebut disampaikan Dr. Hj. Atikah M. Zakki, ketua Pimpinan Pusat Aisyah Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta (15/7/2013).
Berbicara sebagai saksi ahli pemohon uji materi (judicial review) ke sejumlah pasal ataupun ayat dalam undang-undang tersebut, Atikah mengatakan: "Selama ini, sumbangan Muhammadiyah untuk menurunkan angka kematian ibu, angka kematian bayi, dan lain-lain sangat bernilai dan itu bisa berakhir hanya karena keharusan punya badan hukum khusus rumah sakit." RS dan klinik Muhammadiyah sangat membantu warga miskin. Hal ini diakui Pemerintah Indonesia sebagai amal usaha jauh sebelum lahirnya UU tersebut. "RS dan klinik Muhammadiyah bersifat nirlaba, tapi dikelola dengan baik agar tidak merugi. Laba yang diperoleh pun dikembalikan ke pasien," kata Atikah.
Sejak keharusan mempunyai badan hukum khusus rumah sakit itu muncul, kebingungan melanda pengurus RS dan klinik Muhammadiyah. Keinginan mendirikan klinik baru pun ditolak. Jelang BPJS Kesehatan beroperasi, semua klinik harus melakukan daftar ulang menjadi klinik pratama. 96 rumah sakit harus daftar ulang menjadi RS rujukan. "Sedangkan izin 23 rumah sakit telah berakhir," ucap Atikah. Dr. Irman Putra Sidin, saksi ahli yang lain dari pemohon, menyatakan bahwa sebenarnya spirit amal usaha RS dan klinik Muhammadiyah sama dengan spirit badan hukum khusus RS tersebut. Pemerintah Indonesia sebaiknya memberikan keistimewaan status terhadap amal usaha Muhammadiyah. Hal itu telah diberlakukan Pemerintah Indonesia di beberapa kawasan Papua Barat, dengan mengizinkan adanya cara pencoblosan berbeda dalam pemilihan legislatif ataupun eksekutif. "Tidak semua spirit kebenaran yang diusung negara harus berlaku sama. Bila amal usaha yang berusia ratusan tahun diinapkan di penjara karena soal perizinan, tentu sendi-sendi kehidupan sosial terancam," kata Irman.
dr. Edi Junaedi, saksi ahli dari Pemerintah Indonesia menyatakan masa globalisasi manajemen strategis sangat diperlukan. Sehingga, RS bisa berjalan berkesinambungan dan terhindar dari kerugian. Oleh sebab itu, RS sebaiknya memiliki badan hukum khusus seperti yang diharuskan Pasal 7 UU tentang Rumah Sakit. Badan hukum khusus juga memberikan kepastian hukum terhadap pasien. Tuntutan hukum yang dilakukan pasien bisa lebih mudah. Di samping itu, laba yang diperoleh RS berbadan hukum khusus, lebih cepat dirasakan oleh RS. "Itu berbeda dengan di banyak RS nirlaba. Hal ini ujung-ujungnya menghambat kemajuan RS itu sendiri," kata Edi. Majelis Hakim Konstitusi di akhir sidang memerintahkan agar pemohon ataupun termohon menyampaikan kesimpulan. Selambatnya 22 Juli 2013 pukul 14.00 WIB. Kesimpulan itu diserahkan ke kepaniteraan.