Perokok Meningkat, Layanan Kesehatan Tinggi
Pakar Ekonomi Publik Universitas Andalas Padang, Dr Hefrizal Hendra mengatakan manfaat sosial ekonomi dari lapangan pekerjaan yang disediakan Industri rokok jauh lebih kecil dibandingkan dengan dampak negatifnya kepada rakyat secara umum. Dampak negatif secara sosial dan ekonomi dari industri rokok itu justru harus ditanggung perokok aktif dan pasif.
Hal itu dikatakan Hefrizal saat memberikan keterangan sebagai ahli yang dihadirkan pemerintah pada persidangan Pengujian UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (13/9/2013), yang dimohonkan sejumlah tokoh antara lain Hendardi, Mulyana W Kusumah, Neta S Pane dan Aizuddin.
Di hadapan persidangan yang dipimpin Ketua MK Akil Muchtar itu Hefrizal mengatakan, semakin banyak orang yang merokok, maka beban pemerintah untuk menyediakan layanan kesehatan semakin tinggi.
"Karena itu, kebijakan pengenaan pajak untuk meningkatkan harga rokok agar peredarannya bisa dibatasi adalah sangat tepat. Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 yang berlaku 1 Januari 2014 itu malah terlalu kecil, hanya 10 persen. Mestinya lebih, agar harga rokok semakin mahal," kata Hefrizal.
Menurut Hefrizal, rokok yang dijadikan objek pajak dalam pasal tersebut merupakan barang konsumsi pribadi (privat good) yang bukan termasuk kebutuhan dasar. Menurutnya, rokok lebih banyak memberikan akibat buruk kepada orang yang mengkonsumsinya. Karena itu, perlu ada pembatasan agar tidak merusak masyarakat secara umum.
Sementara Guru Besar Pajak Universitas Indonesia (UI) Prof Gunadi juga menyampaikan hal senada. Ia menilai dampak negatif rokok tidak hanya terjadi pada daerah penghasil rokok atau tembakau, tetapi juga dialami daerah lainnya.
Karena itu, pajak rokok digunakan sebagai retribusi tambahan. "Yang nantinya digunakan untuk pemenuhan pelayanan publik sebagai dampak negatif dari rokok, yaitu pelayanan kesehatan, pendidikan serta penanganan hukum," ucap Gunadi.
Sementara Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kalimantan Selatan (Kalsel), Gustafa Yandi, mengatakan bahwa kebijakan pajak rokok dalam UU No 28/2009 memberi angin segar kepada pemerintah daerah. Sebab jika UU itu diberlakukan, pemerintah mendapatkan sekitar 100 triliun dari pungutan pajak tersebut.
"Dengan rasio jumlah penduduk 1,5 persen dari total nasional, maka pajak rokok itu memberikan tambahan penghasilan sekitar Rp140-150 miliar. Jika UU ini dibatalkan, maka kami kehilangan harapan tambahan pendapatan sebesar itu," kata Gustafa.
Disebutkannya, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan, Kalsel menduduki peringkat kedua di Indonesia setelah Provinsi Bangka Belitung dalam hal jumlah rata-rata penduduk yang merokok lebih dari 30 batang per hari. Di Kalsel, rata-rata penduduk yang merokok lebih 30 batang per hari mencapai 7,9 persen, sedangkan di Bangka Belitung mencapai 16,2 persen.
"Hasil riset tersebut juga menyebut 18 perokok anak di Kalsel dengan usia 5-9 tahun. Prevalensi perokok di Kalsel mencapai 30,5 persen, hampir sama dengan angka nasional sebesar 34,7 persen," tambahnya. [mes]
sumber: nasional.inilah.com