Perokok Remaja Naik Jadi 17,9 Persen akibat Pemerintah Tidak Tegas
Jumlah perokok usia remaja, yaitu rentang usia 10-14 tahun, di Indonesia terus meningkat. Dalam sepuluh tahun ini telah meningkat dari 9 persen menjadi 17,9 persen.
Data memprihatinkan itu diungkap Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Prijo Sidi Pratomo kepada wartawan di sela-sela kampanye "Sudah Waktunya Melek Bahaya Rokok" di Car Free Day Dago, Jalan Ir Djuanda, Minggu (23/2).
Menurut catatan Prijo Sidi, usia perokok yang berusia anak yaitu 10-14 tahun mengalami peningkatan 2 kali lipat dalam 10 tahun terakhir ini.
"Yang merokok pada usia 10 sampai 14 tahun sebelumnya 9 persen, dan sekarang naik menjadi 17,9 persen. Meningkatnya jumlah perokok remaja ini mengancam angkatan muda produktif Indonesia di masa yang akan datang," kata Prijo Sidi.
Ia menjelaskan, Indonesia pada tahun 2038 akan mempunyai bonus demografi yang besar dimana akan ada 68 persen usia produktif pada tahun itu. "Namun aset itu kalau tidak dijaga hanya akan sia-sia," ujar Prijo.
Apalagi jika generasi muda usia produktif itu justru tidak produktif sebagaimana mestinya akibat gangguan kesehatan yang dialami. Salah satunya yaitu karena dampak dari merokok.
Menurut World Health Organization (WHO), jumlah perokok Indonesia menempati urutan ketiga di dunia sebanyak 4,8% dari 1,3 miliar perokok di dunia dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan.
Bahkan, kebiasaan merokok di kalangan anak pun meningkat pesat dalam 10 terakhir ini dimana Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan bahwa 34,7% penduduk Indonesia yang berusia 10 tahun ke atas adalah perokok.
Tidak Tegas
Terkait masalah rokok yang memprihatinkan itu, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia dr Marius Widjajarta mengatakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan tidak tegas dalam menegakkan peraturan tentang pengendalian terhadap perokok.
"Masih serba tanggung. Di satu sisi pemerintah sudah punya aturan larangan merokok, tapi di sisi lain pemerintah tidak bisa membatasi masuknya tembakau. Buktinya, pemerintah belum juga meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), atau perjanjian internasional yang mengatur pengendalian tembakau," kata dr Marius menjawab Suara Karya terkait makin meningkatnya perokok usia 10 - 14 tahun.
Kalau Indonesia sudah meratifikasi FCTC, kata dr Marius, akan banyak pengaruh yang dirasakan, khususnya dalam menekan angka perokok. Karena dalam FCTC ini terdapat aturan ketat yang harus ditaati, misalnya pembatasan iklan rokok, melarang generasi muda merokok, melindungi para perokok pasif dari bahaya asap rokok dan larangan perdagangan illegal produk tembakau.
"Contoh yang gampang, iklan rokok kan dibatasi pada jam-jam tertentu atau setelah jam 22.00, tapi kenyataannya mereka bisa masuk pada setiap saat, melalui iklan sepak bola, event olah raga dan lain-lain," kata Marius.
Saat ini, sebanyak 177 negara dunia sudah meratifikasi dan mengaksesi FCTC. Sebanyak 9 negara sudah menandatangi tapi belum lakukan ratifikasi. Sedangkan Indonesia menjadi 1 dari 7 negara dunia yang belum meratifikasi. Padahal sejak awal disusun 1999, Indonesia termasuk negara yang aktif dalam negosiasi.
Pemerintah, kata Marius, masih beranggapan rokok sebagai sumber besar pendapatan negara, dengan kalkulasi sempit yang diperoleh dari pajak cukai rokok. "Pemerintah tidak melakukan kalkulasi atas dampak yang ditimbulkan dari rokok," katanya.
Kegiatan kampanye 'Sudah Waktunya Melek Bahaya Rokok' itu dicetuskan Komnas PT dan terselenggara atas dukungan Kementerian Kesehatan RI serta Komunitas Anti Rokok (KAR) Bandung, Ikatan Seluruh Mahasiswa Kesehatan (Ismakes) Jabar, dan Satuan Petugas Penanggulangan Bencana Wabah dan Penyakit (Satgas PBWP) ini bertujuan menggalang dukungan masyarakat untuk saling melindungi dari bahaya merokok melalui pengawasan implementasi peringatan bergambar pada kemasan rokok pada Juni 2014. (Ant/Sadono)
sumber: www.suarakarya-online.com