Petani & Industri Rokok Linting Gugat UU Kesehatan
INILAH.COM, Jakarta - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang atas Pemohon, Suyanto, Iteng Achmad Surowi, Akhmad dan Galih Aji Prasongko yang juga pemilik industri rokok linting atas judicial review atau uji materi Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 116 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap UUD 1945, Senin (16/7/2012).
"Saudara dikasih kesempatan 14 hari selambat-lambatnya untuk memperbaiki permohonan. Kalau misalnya 14 hari Saudara tidak memperbaiki permohonan, maka berarti Saudara tetap dengan permohonan semula," terang Ketua Majelis Mahkamah, Akil Mochtar, didampingi dua anggota majelis, Achmad Sodiki dan Maria Farida Indrati.
Kuasa hukum pemohon, Pradnanda Berbudy, sebelumnya mengungkapkan bahwa Pemohon I dan Pemohon II adalah petani tembakau, Pemohon III adalah pemilik industri pelinting rokok dan Pemohon IV adalah perokok.
Dimana dengan pemberlakuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 116 UU Kesehatan, Pemohon beranggapan tidak ada jaminan akan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan tekhnologi terhadap tembakau dan produk tembakau atau rokok serta berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi dengan menjadi petani tembakau, serta berwiraswasta di bidang industri rokok, dan melakukan kegiatan merokok tidak mempunyai kepastian hukum di Indonesia.
"Baju uji secara formal, bahwa pembentukan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, melanggar asas kejelasan tujuan. Yang kedua, Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan untuk Pasal 116 Undang-Undang Kesehatan melanggar asas pembentukan, asas kejelasan rumusan," terangnya.
Pasal 113 ayat (1), ungkap Nanda, disebutkan bahwa pengamanan penggunaan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak menganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
Sedangkan ketentuan Pasal 113 ayat (2) disebutkan bahwa zat adiktif sebagaimana di ayat (1) meliputi tembakau yang mengandung tembakau pada cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaanya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
Rumusan pada ayat (1) dan ayat (2) itu dinilai menimbulkan pertanyaan, apakah tujuan dari penggunaan bahan yang menganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, dan masyarakat atau penggunanya ditujukan untuk penggunaan yang dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya?
"Bahan zat adiktif sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), secara jelas dan nyata berbeda dengan apa yang dimaksud pada ayat (2). Dengan demikian, Pasal 113 ayat (1) dan (2) secara jelas dan nyata melanggar ketentuan Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, yaitu dalam pembentukan tidak memenuhi asas kejelasan tujuan," ucapnya.
Selain itu, Pemohon juga menganggap Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 116 UU Kesehatan melanggar asas pembentukan, asas kejelasan rumusan. Karena bila dicermati secara jelas penormaan yang terkandung dalam Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan, secara jelas dan nyata tidak memenuhi asas kejelasan rumusan.
Rumusan Pasal 113 ayat (2) tersebut menyatakan bahwa zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif bagi penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
Hal yang sama ada pada rumusan Pasal 113 ayat (2), apakah zat adiktif yang dimaksud meliputi tembakau, produk tembakau padat, cair, dan gas atau tembakau produk yang mengandung tembakau yang berbentuk padat, cair, dan gas? Rumusan yang menurutnya mengandung suatu tafsir dan pemahaman yang bias, artinya ketentuan ini tidak memenuhi kejelasan rumusan dari suatu pembentukan perundang-undangan.
Secara materiil, Pasal 113 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 116 UU Kesehatan menurut Pemohon tidak memberikan jaminan atas pemberian manfaat dari teknologi, serta tidak memberikan jaminan hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dan berpotensi menyebabkan terjadinya ketidakpastian dan keadilan hukum yang merupakan hak asasi. Batu ujinya adalah Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 31 ayat (5) UUD 1945,
Ketua Mahkamah, Akil Mochtar, mengingatkan bahwa Pasal 113 yang diajukan Pemohon secara formal pernah di uji di MK. Bedanya, batu uji yang diajukan Pemohon kali ini berbeda dengan batu uji sebelumnya. Ia mengungkapkan bahwa pengujian formal berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga harus memenuhi tata cara dan syarat-syarat yang ditentukan oleh UUD 1945 yang kemudian ditindaklanjuti oleh UU.
"Saudara gunakan Pasal 28C kemerdekaan berserikat. Kemudian Pasal 28D ayat (1) pengakuan dan jaminan kepastian hukum yang adil. Pasal 28G perlindungan terhadap hak. Pasal 31 ayat (5) memajukan pengetahuan dan teknologi, dan nilai-nilai agama. Itu hubungannya apa dengan pengujian formal?," tandasnya.
"Alasan-alasan permohonan Saudara belum menerangkan tentang pertentangan norma. Apa yang menjadi masalah konstitusional dari norma itu ? Saudara lebih banyak menguraikan tentang industri rokok, penelitian mengenai tembakau, produk tembakau dan belum terdapat argumentasi konstitusionalnya," tambah Akil