HARI HEPATITIS SEDUNIA: Prevalensi Masih Tinggi, Dibutuhkan Kerjasama Lintas Sektor

16septProgram vaksinasi massal hepatitis B yang dilaksanakan di seluruh provinsi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, ternyata belum memberi dampak pada penurunan prevalensi hepatitis B secara signifikan. Penyakit yang menyerang organ hati itu hingga kini diperkirakan masih diidap oleh sekitar 22,3 juta orang.

Hal itu dikemukakan Plt Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Prof Agus Purwadianto, dalam jumpa pers, di Jakarta, Selasa (16/9) terkait peringatan Hari Hepatitis Sedunia di kota Jambi, pada 20 September mendatang.

Hadir dalam kesempatan itu, pakar hepatitis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Ali Sulaeman dan peneliti hepatitis, Lukman Hakim Tarigan.

Dijelaskan, penyakit hepatitis mendapat perhatian khusus, karena Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan prevalensi tertinggi. Bahkan, tingkat endemisitas mencapai angka diatas 8 persen.

Untuk itu, lanjut Prof Agus, pengendalian hepatitis masuk menjadi salah satu program pengendalian penyakit menular langsung sejak 2011.

"Hepatitis menjadi masalah kesehatan yang serius. Hepatitis A dan E di sejumlah daerah sering muncul sebagai kejadian luar biasa (KLB) sedangkan penderita hepatitis B dan C banyak yang menjadi kronis," ujarnya.

Upaya pengendalian, lanjut Prof Agus, dilakukan melalui pengembangan kemitraan dan jejaring kerja secara multi disiplin, lintas program dan lintas sektor. Selain partisipasi masyarakat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah.

"Kami juga melakukan penguatan sistem surveilans sebagai bahan informasi bagi pengambilan kebijakan dan pelaksanaan program," ucap Prof Agus menandaskan.

Hal senada dikemukakan pakar hepatitis Prof Ali Sulaeman. Diperkirakan 1 dari 10 orang di Indonesia mengidap Hepatitis B. Sedangkan di dunia, diperkirakan ada sekitar 350 juta penderita hepatitis B.

"Dari jumlah itu, 25-40 persen akan meninggal akibat hepatitis B atau komplikasinya. Infeksi hepatitis B telah menjadi penyebab kematian ke-9 di seluruh dunia," katanya.

Prevalensi hepatitis B di Indonesia masih tinggi meski sudah dilakukan vaksinasi massal, menurut Prof Ali Sulaeman, kemungkinan cakupan vaksinasi di beberapa daerah belum mencapai target. Pemberian vaksin massal tidak diikuti pemberian vaksin lanjutan.

"Dan yang tak kalah penting vaksin hepatitis B tidak diberikan dalam 12 jam pertama setelah bayi lahir. Sehingga berpeluang tertular infeksi virus hepatitis B," tuturnya.

Faktor lain disebutkan Prof Ali Sulaeman, skrining hepatitis B pada ibu hamil belum menyeluruh. Kondisi itu menimbulkan penularan dari ibu ke anaknya. Program vaksin massal tidak menyentuh kelompok risiko tinggi tertular hepatitis B.

"Karena itu, masih banyak ditemukan kantong-kantong sumber infeksi diantara penduduk. Ditambah lagi miskinnya informasi seputar penyakit hepatitis B di komunitas," ujarnya.

Ditambahkan, penyakit hepatitis B dan C umumnya tanpa gejala. Jika tidak diobati segera, dalam kurun waktu 15 tahun hepatitis akan berkembang menjadi sirosis (pengerutan) hati. Bahkan ada yang menjadi kanker hati.

"Jika sudah sirosis atau kanker, tak bisa disembuhkan dengan obat-obatan, kecuali cangkok hati. Tetapi cangkok hati bukanlah jawaban untuk pengobatan. Sirosis dan kanker hati. Karena selain harganya mahal, belum ada tata laksana cankok hati di Indonesia," ucap Prof Ali Sulaeman menegaskan. (TW)

{jcomments on}