IDI Kerja Sama APKASI Cari Model Sistem Kesehatan Daerah Yang Ideal

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menandatangani nota kerja sama dengan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) untuk mencari model sistem kesehatan daerah yang ideal dan implementatif bagi kabupaten/kota.

Untuk tujuan tersebut juga digelar semiloka bertajuk "Peran Sistem Kesehatan yang Terintegrasi Dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional untuk Memperkuat Azas-Azas Ketahanan Nasional, di Jakarta, Rabu (17/9).

Dalam sambutannya, Ketua Umum PB IDI, Zainal Abidin, mengungkapkan pembangunan kesehatan di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai permasalahan klasik yang justru kian besar dann berat.

Hal ini ditandai dengan masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Balita (AKB), meningkatnya prevalensi gizi kurang atau stunting serta naiknya prevalensi penyakit tidak menular (PTM).

Data Kementerian Kesehatan untuk saat ini menunjukkan AKI yang pada awalnya adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup dan ditargetkan menjadi 118 di tahun 2014, kenyataannya malah meningkat menjadi 359. AKB yang pada awalnya 34 per 1000 kelahiran hidup dan ditargetkan menurun menjadi 24 di 2014, ternyata hanya turun di angka 32.

Demikian pula prevalensi gizi kurang yang awalnya 18,4 persen ditargetkan menjadi 15 persen pada 2014, malah dari hasil Riskesdas 2013 meningkat menjadi 19,6 persen. Sama halnya dengan gizi kurang, prevalensi stunting (pendek) yang awalnya 36,8 persen meningkat menjadi 37,6 persen.

"Masih banyak masalah kesehatan yang kita hadapi, bukan hanya meningkatnya berbagai jenis penyakit, bahkan ketidaksamaan pandangan elit bangsa terhadap konsep sehat, kesehatan dan pembangunan kesehatan juga merupakan masalah besar," ungkap Zainal Abidin.

Ditambahkan Zainal, tren peningkatkan pembiayaan kesehatan di Indonesia ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan derajat kesehatan rakyat Indonesia. Hingga kini, target MDG's terkait pembangunan kesehatan belum tercapai.

Hal ini dikarenakan pemerintah masih sibuk mengurus masalah hilir, sementara hulu yang paling mendasar dan menjadi akar masalah kesehatan sering diabaikan.

Misalnya, air bersih, lingkungan sehat, perumahan sehat, ketahanan pangan untuk atasi gizi buruk, penyediaan lapangan kerja untuk pengentasan kemiskinan.

"Tidak tuntasnya masalah hulu menyebabkan anak bangsa ini belum sempat memikirkan bagaimana membangun ketahanan dan kedaulatan nasional di sektor kesehatan," kata Zainal.

Padahal, dikatakan Zainal, tidak ada negeri yang bisa utuh dan bertahan tanpa menjadikan penduduknya sehat. Khusus di Indonesia, persoalan ketidakadilan pembangunan kesehatan dapat berpotensi menjadi ancaman disintegrasi.

Pada kenyataannya, kata Zainal, daya ungkit pelayanan kesehatan, utamanya pelayanan kedokteran termasuk dengan Jaminan Kesehatan Nasional-nya hanyalah 25-30 persen.

Itu artinya 70-75 persen berada di luar pelayanan kedokteran dan JKN. Inilah yang dikatakan Zainal, merupakan akar masalah dari persoalan kesehatan rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, menurut Ketua Umum APKASI Isran Noor, kerja sama pihaknya dengan IDI untuk menggelar semiloka diharapkan dapat menemukan model baru sistem kesehatan daerah di era otonomi daerah ini.

Diharapkan ini akan menjadi titik awal untuk merumuskan dan menata sistem kesehatan nasional yang lebih baik di masa mendatang.

"Kami berharap agar kerja sama antara IDI dan APKASI bukanlah sekadar menemukan model sistem kesehatan daerah, tetapi dapat berlanjut ke tingkat implementasi model tersebut," kata Isran.

Menurut Isran, urusan kesehatan merupakan salah satu urusan wajib pemerintah darah. Perbaikan derajat kesehatan masyarakat sangat penting karena sebagai salah satu indikator kemajuan daerah. [D-13/L-8]

sumber: http://www.suarapembaruan.com