90 Persen Alat Diimpor, Biaya Kesehatan Mahal
Ketua panitia Seminar Internasional Technomed 2014, Trisasi Lestari, mengatakan lebih dari 90 persen alat kesehatan di Indonesia masih impor atau teknologinya dipegang oleh perusahaan asal luar negeri. Makanya, menurut akademikus Fakultas Kedokteran UGM tersebut, biaya perawatan kesehatan di Indonesia mahal. "Jarum suntik saja masih impor," kata dia di sela konferensi pers mengenai Seminar Internasional Technomed 2014 di kampus Fakultas Kedokteran UGM, pada Selasa, 21 Oktober 2014.
Trisasi menambah deretan contohnya, yakni alat bantu medis sepele seperti stetoskop atau pengukur tensi darah, sudah diproduksi di dalam negeri, tapi paten teknologinya masih dipegang oleh perusahaan luar negeri. Alat untuk deteksi kadar gula pada penderita diabetes hingga perangkat laboratorium untuk pemeriksaan darah di banyak rumah sakit juga masih impor. "Perangkat radiologi yang dibutuhkan di semua rumah sakit, hampir 100 persen impor," kata Trisasi.
Karena itu, Trisasi menambahkan, Seminar Technomed, yang berlangsung pada 21 dan 22 Oktober 2014, sengaja digelar untuk mempertemukan peneliti di bidang kesehatan dengan pelaku industri farmasi dan alat bantu medis. Tujuannya untuk menunjukkan besarnya potensi penemuan teknologi bidang medis di Indonesia. "Kami juga datangkan praktisi dari India dan Cina," katanya.
Trisasi mencontohkan ada pakar kesehatan dari India yang menyebutkan biaya operasi jantung di negaranya jauh lebih murah dari Indonesia karena semua alat bantu medis bukan barang impor. Perbandingannya, harga operasi jantung di India bisa seperlima lebih murah dari Indonesia. "Di Cina juga jauh lebih murah karena alat kesehatannya mayoritas buatan dalam negeri," kata dia.
Padahal, menurut Trisasi, prosedur penciptaan teknologi alat bantu medis di Indonesia tidak terlalu sulit. Hanya saja, menurut dia, belum banyak akademikus bidang kedokteran menaruh perhatian besar untuk penemuan teknologi baru di bidang kesehatan. "Prosedur pemberlakuan Standard Nasional Indonesia, bukti keamanan dan paten juga tidak susah," ujarnya.
Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Masyarakat dan Kerja Sama, Fakultas Kedokteran, UGM, Adi Utarini menambahkan banyak di antara alat kesehatan impor sebenarnya tidak rumit teknologinya. Karena itu, dia optimistis, apabila ada perhatian serius dari para peneliti bidang kesehatan untuk meriset teknologinya, produksi di dalam negeri bisa didorong berkembang. "Universitas harus jadi pusat inovasi," kata dia.
Utarini mengatakan FK UGM sudah merintis riset untuk penciptaan teknologi sebagian kecil alat-alat bantu medis. Sebagiannya, yang sudah dikembangkan, ialah Rhinomery digital, Pengukur Jari Tabuh, Stress Meter, Vital Sign Simulator, Manekin Resusitasi Jantung Paru, Alat Deteksi Kanker Nasofaring, dan Intrauterine Device (IUD) untuk program keluarga berencana. "Sebagian masih proses pengajuan paten dan ada yang sudah diproduksi," kata Utarini.
Menurut Utarini, kampusnya mengundang sejumlah perusahaan farmasi di forum Technomed 2014. Di antaranya PT Roche Indonesia, Novartis Institute for Tropical Disease, PT Teguhsindo Lestaritama, dan sebagainya. "Agar periset dari kampus tahu prosedur produksi alat kesehatan dan termotivasi. Peluangnya luas," katanya.