Ketua IDI: Dokter Tak Boleh Tergoda Materi
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zainal Abidin mengingatkan para dokter agar tidak menulis resep berdasarkan pesanan perusahaan farmasi.
Dokter juga dilarang melakukan diagnosa abu-abu yang bisa menjadi dasar untuk menggiring pasien menebus obat sesuai pesanan perusahaan farmasi.
Menurut Zainal, dokter harus jujur dan melakukan diagnosa sesuai pertimbangan profesional. Ia juga minta para dokter senantiasa memilih obat yang paling murah untuk pasiennya.
"Kalau ada lebih dari satu pilihan obat dan dokter tahu semua obat itu khasiatnya sama, kasih yang lebih murah supaya tidak merugikan pasien," kata Zainal kepada Tribun di kantor Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Zainal menuturkan, para dokter juga harus independen dan berhati-hati dalam menuliskan resep. Para dokter tidak boleng terpengaruh iming-iming materi dari produsen-produsen obat.
Zainal menjelaskan, perusahaan obat boleh memfasilitasi dokter mengikuti kegiatan ilmiah yang bertujuan meningkatkan pengetahuan di bidang kedokteran.
Misalnya memberangkatkan dokter mengikuti seminar luar negeri. "Asalkan istri dan anak si dokter tidak ikut," katanya.
Fasilitas tersebut tidak mengikat si dokter. Artinya, sepulang dari mengikuti seminar, dokter tidak wajib meresepkan obat buatan perusahaan yang telah memfasilitasinya. Dokter tetap independen dalam menulis resep.
Zainal juga mengatakan, memang ada perusahaan obat yang selalu mengutus staf pemasarannya untuk menemui para dokter dan menjelaskan produk-produk terbarunya.
Mereka biasanya juga memberikan brosur tentang obat baru tersebut.Namun, menurut Zainal, dokter tetap harus independen dalam menulis resep.
Menurut Zainal, bila ada produsen obat yang menyuap dokter, hal tersebut tetap akan ketahuan.
"Perusahaan obat itu sendiri pasti akan ngomong. Kalau terjadi masalah maka perusahaan obat itu pasti akan teriak, akan ngomong, saya sudah kasih ke dokter ini... ini... ini... Kalau begitu yang malu dokternya," katanya.
Zainal menjelaskan bahwa antara IDI dan asosiasi perusahaan farmasi ada kerja sama. Isi kerja sama itu, IDI dan asosiasi perusahaan farmasi mengawasi anggota masing-masing.
Menurut Zainal, asosiasi perusahaan farmasi juga memiliki aturan yang melarang staf-staf pemasaran obat atau medical representative menawarkan hadiah kepada dokter.
"Bagi yang melanggar ada sanksi dari perusahaannya. Medrep menemui dokter untuk menjelaskan tentang produk barunya, bukan menawarkan uang atau yang lain. Kalau ada yang menawarkan hadiah, itu kampungan," katanya.
Bagi dokter yang melanggar larangan menerima hadiah dari perusahaan obat juga bisa dituduh melanggar kode etik dan dikenai sanksi.
Zainal juga mengatakan, para medrep juga kerap meminta tanda tangan dokter. Namun hal itu bukanlah tanda tangan yang menunjukkan dokter telah menerima hadiah dari medrep.
Menurut Zainal tanda tangan itu menjadi bukti bahwa si medrep telah menemui dokter dan telah menjalankan tugasnya dalam memasarkan produk.
Zainal menerangkan, pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) bakal menutup peluang terjadinya kongkalikong antara perusahaan farmasi dan dokter.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sebagai pelaksana SJSN dan pengganti Askes, sudah menentukan obat-obat yang dapat diresepkan oleh dokter.
"Kalau dokter meresepkan obat di luar daftar itu, bisa-bisa dokter tersebut tidak dibayar oleh BPJS. Kan yang rugi dokternya. Karena itu bersamaan pengaktifan BPJS, sektor obat juga ditata. Para dokter diberi daftar obat yang ditanggung BPJS," ujarnya.
Pada kasus lain, bisa saja pasien bersedia membeli sendiri obatnya. Karena itu, ia bisa meminta dokter menuliskan resep obat di luar daftar obat yang ditanggung BPJS.
BPJS akan melakukan pengawasan terhadap dokter. Zainal yakin mekanisme seperti itu akan mengikis kecurigaan para dokter kongkalikong dengan perusahaan obat.
Apalagi, setiap dokter akan diaudit. "Ada audit medik. BPJS bisa melihat, dokter mana yang menulis obat di luar daftar," ia menegaskan.
sumber: http://www.tribunnews.com/