Peta Buta Menjamin Kesehatan

Sutisna, Ketua Serikat Pekerja Percetakan Negara Republik Indonesia, resah. Dia sama sekali belum memiliki gambaran bagaimana skema ideal agar pekerja menjadi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tanpa menurunkan manfaat kesehatan selama ini.

Sutisna dan rekan pengurus lain akan menggelar perundingan secara maraton dengan manajemen PNRI untuk membahas hal itu. Soal kepesertaan JKN kini jadi isu hangat di kalangan pekerja formal sejak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan gencar berkampanye perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya pada 1 Januari 2015.

"Kami akan mengundang BPJS Kesehatan untuk menjelaskan program JKN. Bagaimana jadi peserta JKN tanpa mengalami penurunan manfaat kesehatan yang selama ini disediakan perusahaan dan tak terjadi klaim ganda," kata Sutisna.

Sutisna pun tak ingin pengalaman buruk saat mengantar ayahnya, yang peserta JKN kelas II, berobat ke unit gawat darurat rumah sakit swasta di Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Pihak RS mewajibkan mereka membayar biaya perawatan pada Sabtu dan Minggu dengan dalih BPJS Kesehatan hanya menanggung pada Senin sampai Jumat.

Setelah diadukan pada BPJS Kesehatan, pihak rumah sakit pun mengembalikan uang yang telanjur dibayar.

Layanan penyedia fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan yang menerapkan JKN memang belum standar. FX Eko Agusriyanto (40) menuturkan, dokter piket UGD RS dr Suyoto, milik Kementerian Pertahanan di Jakarta Selatan, langsung mengobservasi ibunya yang sesak napas. "Kami tak perlu membayar sepeser pun dengan JKN," kata Agusriyanto.

Hal itu baru kejadian di Jakarta. Bagaimana dengan di daerah yang amat terbatas fasilitas kesehatan dan paramedisnya. Kondisi itu membuat Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dengan mediasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), meminta tenggang waktu pendaftaran JKN pekerja formal menjadi paling lambat 1 Juli 2015.

Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani mengungkapkan, kekhawatiran utama pengusaha adalah kualitas pelayanan JKN. Adapun dari kalangan pekerja, seperti disampaikan Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, antara lain sosialisasi yang lemah, penurunan manfaat, portabilitas, dan koordinasi manfaat belum jelas.

Program JKN merupakan amanat Pasal 28h Ayat (3) dan Pasal 34 UUD 1945 yang dijabarkan melalui UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU 24/2011 tentang BPJS. Namun, persiapan terburu-buru karena pemerintah lalai menyusun aturan turunan yang kelar sehari menjelang JKN berjalan 1 Januari 2014, membuat BPJS Kesehatan kewalahan.

Pemerintah harus bertanggung jawab menyiapkan segala regulasi, infrastruktur fasilitas kesehatan di daerah, pemerataan paramedis, dan ketersediaan obat. Tentu, pemerintah perlu menyiapkan peta jalan terukur dan disiplin mewujudkannya. Bukan dengan peta buta yang memicu kebingungan seperti sekarang.

sumber: http://health.kompas.com/