Layanan Kesehatan Harus Mudah Diakses

BANDA ACEH - LSM Masyarakat Transprasni Aceh (MaTA) menilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh memiliki peran melekat mengawasi jalannya pelayanan kesehatan rakyat dalam program Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) yang digagas Pemerintah Aceh bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS). "DPR Aceh merupakan pihak yang turut bertanggung jawab mengawasi jalannya program JKRA pada Pemerintahan Aceh. Sehingga tidak terkesan pemerintah hanya menggelontorkan anggaran besar tapi tidak mengawasinya dari sisi akuntabilitas dan tranparansi pelaksanaannya di lapangan," ujar Koordinator MaTA, Alfian menanggapi laporan Eksklusif Serambi berjudul "600.000 Warga Aceh belum Daftar BPJS" yang disiarkan Minggu 15 Februari 2015.

Menurut Alfian, sebagai lembaga pengawas DPRA memiliki akses yang lebih besar untuk memantau apa yang terjadi di lapangan. Mulai dari sisi penggunaan anggaran hingga pelayanan di level bawah. Dari sisi anggaran, DPRA berkewajiban memastikan anggaran yang dikeluarkan Pemerintah Aceh untuk jaminan kesehatan rakyat digunakan secara transparan dan akuntabel. Sementara di level lapangan, pelayanan kesehatan kepada rakyat yang dijamin oleh pemerintah harus menganut prinsip yang mudah diakses dan tidak membebani masyarakat.

Alfian menyebutkan, merujuk dari anggaran yang digelontorkan Pemeritah Aceh lewat program JKRA bekerja sama dengan BPJS, seharusnya pelayanan jaminan kesehatan untuk rakyat Aceh jauh lebih baik dan tidak mengesankan kerumitan. Alfian menyebutkan ketika jaminan kesehatan masih sepenuhnya dijalankan pemerintah Aceh lewat program JKRA banyak ditemukan ketimpangan dalam pelaksanannya. Justru hal ini sebagian besar dialami warga miskin.

"Misalkan ada dokter yang memberi resep obat di luar dari daftar obat yang ditanggung program JKRA. Kondisi ini membuat keluarga pasien, harus menebus obat tersebut di apotek dengan harga yang tinggi. Pasien yang rata-rata hidup miskin tidak punya pilihan lain. Kalau ada komplain, dokter beralasan sudah disetujui pasien," ujarnya. Praktik dokter semacam ini, kata Alfian sangat merugikan pasien. Ia mensinyalir ada modus lain mengapa kalangan oknum dokter mengambil kebijakan itu. Menurut Alfian dengan anggaran yang besar dari sektor kesehatan seharusnya layanan kesehatan yang diperoleh rakyat Aceh semakin lebih baik dari tahun ke tahun. Terlebih setelah Pemerintah Aceh pada 2015 kembali menjalin kerja sama dengan BPJS dengan menggelontorkan anggaran yang mencapai Rp 467 miliar sebagai jaminan kesehatan rakyat Aceh. Besaran anggaran tersebut mampu mengcover (menutupi) biaya kesehatan 2,3 juta jiwa penduduk Aceh dari total sekitar 5 juta penduduk.

Jumlah alokasi anggaran jaminan kesehatan tersebut lebih besar dari tahun 2014. Pada tahun 2014 Pemerintah Aceh hanya mengalokasikan Rp 415 miliar lebih untuk mengcover 1,6 juta jiwa penduduk Aceh.

Menurut Alfian, dengan besarnya alokasi jaminan kesehatan tersebut semestinya pelayanan kesehatan yang didapat rakyat Aceh jauh lebih baik. "Tapi faktanya sampai saat ini masih banyak ditemukan kasus yang tidak sesuai di lapangan," sebutnya. Pemerintah juga perlu membentuk unit komplain untuk menampung berbagai laporan masyarakat yang tidak mendapat pelayanan kesehatan memadai.

"Unit komplain ini penting agar masyarakat tahu kemana mengadu, dan mendapatkan haknya sebagai warga yang dijamin kesehatannya oleh pemerintah," ujar Alfian. (sar)

sumber: http://aceh.tribunnews.com/