Apotik Tak Boleh Simpan Obat Bermasalah
Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Roy Sparringa meminta pada apotik dan toko obat untuk tidak menyimpan obat suntik buvanest spinal produksi PT Kalbe Farma yang bermasalah. Hal itu untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.
"Jika ada apotik atau toko obat yang kesulitan dalam proses pengembalikan buvanest, bisa menghubungi BPOM. Akan kami bantu prosesnya," kata Roy kepada wartawan, di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Senin (23/3).
Hadir dalam kesempatan itu Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek dan jajaran eselon satu di lingkungan Kemenkes.
Pernyataan Roy disampaikan terkait dengan ucapan ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Marius Widjajarta bahwa hingga kini masih ditemukan Buvanest Spinal produksi PT Kalbe Farma di pasaran, meski dengan nomor seri yang berbeda.
Padahal, lanjut Marius, BPOM sejak 17 Februari 2015 lalu telah membekukan izin edar Buvanest Spinal buatan PT Kalbe Farma. Itu artinya, obat anastesi tersebut tak boleh ada di pasaran untuk semua produk, tak hanya pada nomor batch tertentu yang terbukti bermasalah.
"BPOM dan Kemenkes harus serius tangani masalah Buvanest bermasalah ini. Jangan sampai kasus seperti meninggalnya dua pasien di rumah sakit Siloam Karawaci terulang lagi," kata Marius dalam sebuah diskusi, pekan lalu.
Untuk itu, Kepala BPOM meminta pada para pihak untuk melaporkan apotik yang masih memiliki stok Buvanest Spinal di gudangnya. BPOM akan menurunkan tim untuk menyelesaikan masalah tersebut.
"Sulit kalau hanya berdasarkan katanya. Kami ingin ada daftar nama-nama apotik yang memang masih menyimpan Buvanest," ucap Roy menegaskan.
Roy menambahkan, pihaknya sejak 18 Maret 2015 lalu telah mengeluarkan sanksi kepada PT Kalbe Farma. Yaitu berupa instruksi untuk menghentikan pendistribusian produk Buvanest Spinal serta menarik produk tersebut yang sudah telanjur beredar di pasaran.
"Kami tidak bisa memberi sanksi pidana atas kasus ini. BPOM tak punya kewenangan itu,"ucap Roy menegaskan.
Hasil investigasi yang dilakukan BPOM dan Kemenkes menunjukkan adanya pencampuran produk. Ampul Buvanest yang seharusnya berisi bupivacaine untuk obat bius, ternyata berisi Asam traneksamat yang merupakan obat untuk mengatasi perdarahan.
Pada 17 Februari 2015, BPOM sebetulnya juga telah membekukan nomor izin edar Buvanest Spinal dan menyegel ruang produksi serta seluruh produk yang diproduksi di line 6. Selain Buvanest Spinal dan Asam traneksamat, masih ada 26 jenis obat yang diproduksi di line tersebut.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Nila Moeloek menyatakan dalam kasus tersebut RS Siloam telah melakukan penanganan sesuai prosedur, baik standard operation procedure (SOP) penanganan obat maupun pelayanan pasien. (TW)