AFKSI Tolak Kebijakan Pembatasan Kuota FK Swasta
Asosiasi Fakultas Kedokteran Swasta Indonesia (AFKSI) menolak kebijakan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti), Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) terkait kuota penerimaan mahasiswa baru (PMB) di fakultas kedokteran (FK) swasta.
Kebijakan tersebut dinilai AFKSi menghambat pemenuhan kebutuhan tenaga dokter di Indonesia.
"Pembatasan kuota tersebut mempersempit peluang perguruan tinggi swasta untuk menyumbangkan sumber daya manusia dokter yang berkualitas di Tanah Air," kata Ketua AFKSI, Mardi Santoso, di Malang, Minggu (29/3).
Mardi Santoso menjelaskan, setiap tahun fakultas kedokteran (FK) rata-rata hanya meluluskan calon dokter sebanyak 6.000-6.500 lulusan. Sementara kebutuhan dokter mencapai sekitar 190 ribu orang.
"Kebutuhan ini seharusnya diisi oleh lulusan FK kita, baik dari negeri maupun swasta. Jika tidak peluang ini akan diisi dokter dari luar negeri, terkait dengan penerapan Masyarakat Ekonomi Asean dan AFTA," ujar Mardi Santoso seperti dikutip Antara.
Oleh karena itu, lanjut Mardi Santoso, AFKSI mendesak pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan tersebut.
Selain menyoroti kebijakan pembatasan kuota FK bagi PTS, AFKSI juga mengkritisi kebijakan mahasiswa kedokteran bisa menyandang status dokter layanan primer, jika telah mengikuti pendidikan formal selama dua tahun setelah lulus.
"Bila kebijakan itu dipaksakan akan meresahkan dan mengganggu aktivitas pendidikan kedokteran di Indonesia," ujarnya.
Ia menilai kebijakan itu merupakan kebijakan yang diskriminasi terhadap kampus swasta. Padahal, selama ini FK swasta telah meluluskan dokter yang dapat bekerja di layanan primer (puskesmas dan rumah sakit).
Dengan demikian, lulusan fakultas kedokteran dapat dipertanggungjawabkan dan bisa memberi pelayanan di tingkat primer. Selama di kampus mereka sudah dibekali dengan standar pelayanan primer, sehingga kemampuannya tidak perlu ragukan lagi.
"Saat ini dokter-dokter muda yang baru lulus mulai resah akan statusnya, karena mereka dituntut menempuh pendidikan formal kembali. Jika mereka tidak ikut, dinyatakan tidak layak bekerja di Puskesmas maupun rumah sakit," ujarnya. (TW)