Menkes Prihatin Perempuan Perokok Meningkat 10 Kali Lipat
Menteri Kesehatan (Menkes) Nila FA Moeloek mengaku prihatin atas semakin meningkatkan prevalensi remaja perempuan usia 15-19 tahun perokok di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010-2013 menunjukkan, peningkatan itu mencapai 10 kali lipatnya.
"Diperkirakan ada sekitar 6,3 juta perempuan Indonesia usia diatas 15 tahun yang merokok pada 2013," kata Nila FA Moeloek usai membuka "The 2nd Indonesia Conference onTobacco or Health (ICTOH)" di Jakarta, Kamis (28/5).
Menkes mengemukakan, pemasaran industri rokok saat ini menyasar pasa generasi muda. Jika tidak dilakukan upaya pencegahan, hal ini dikhawatirkan akan mengancam bonus demografi. Karena perokok sangat berisiko terkena berbagai penyakit.
"Menyelamatkan generasi muda dari rokok seharusnya menjadi komitmen bersama, bukan hanya kementerian kesehatan," ucap Nila Moeloel.
Disebutkan, jumlah perokok muda usia yang terus meningkat. Riset Kesehatan Dasar 2007-2013 menyebutkan, prevalensi merokok pada remaja naik dari 34,2 persen menjadi 36,3 persen. Selain itu, ditemukan 1,4 persen perokok berusia 10-14 tahun.
"Iklan menjadi instrumen industri rokok dalam menyasar generasi muda. Akibatnya, generasi muda yang merokok terus naik jumlahnya," katanya menegaskan.
Nila menyebutkan, dari tahun 1995 hingga 2013, prevalensi merokok di Indonesia pada kelompok umur di atas 15 tahun terus naik. Prevalensi merokok tahun 1995 sebesar 27 persen naik menjadi 31,5 persen pada 2001. Angka tersebut naik lagi menjadi 34,4 persen pada 2004.
Pada 2007 dan 2010, prevalensi merokok berada di angka 34,2 persen dan 34,3 persen. Tiga tahun kemudian, prevalensi merokok menjadi 36,3 persen. Rinciannya, prevalensi pada laki-laki 66 persen dan perempuan 6,7 persen.
Prevalensi perokok pada penduduk berusia 15-19 tahun dari tahun 1995 ke 2013 terus meningkat. Yakni, 7,1 persen pada tahun 1995, 12,7 persen tahun 2001, 17,3 persen tahun 2004, 18,8 persen di tahun 2007.
"Prevalensi meningkat lagi di tahun 2010 menjadi 20,3 persen. Walaupun tahun 2013 menurun menjadi 18,3 persen, angka tersebut tetap tinggi," tuturnya.
Dampak merokok, lanjut Nila, kejadian penyakit tidak menular terus meningkat dan membebani ekonomi. Sebanyak 30 persen pembiayaan rawat inap dan 10 persen rawat jalan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terserap untuk pengobatan penyakit tidak menular tersebut.
"Jika ini terus berlangsung, maka akan membebani keuangan negara," ucapnya.
Empat dari lima penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia tahun 2014 sangat terkait dengan rokok, yakni stroke, penyakit kardiovaskular, kanker, dan hipertensi. Bahkan, angka kematian akibat penyakit tidak menular meningkat dari 50,7 persen di tahun 2004 menjadi 71 persen pada 2014.
Menurut Nila, Kementerian Kesehatan tidak bisa bekerja sendirian dalam mengendalikan konsumsi rokok pada generasi muda. Ada peran kementerian lain dalam pengendalian konsumsi rokok. Salah satu yang berperan penting ialah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Penerapan kawasan tanpa rokok di sekolah juga pelarangan penjualan dan iklan rokok di lingkungan sekolah merupakan contoh konkrit kebijakan yang mendukung pengendalian tembakau," katanya.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Taufik Hanafi mengatakan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan sebenarnya sudah mengirim surat edaran untuk melarang rokok di sekolah.
Selain itu, Kemdikbud telah meminta dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota untuk melarang penjualan rokok di lingkungan rokok, iklan rokok di lingkungan sekolah, dan pemasangan tanda dilarang merokok di sekolah.
(TW)