Pelayanan Kesehatan dari Pinggir ke Tengah

KEBUTUHAN untuk hidup sehat dan layak adalah hak dasar setiap orang yang dijamin oleh Undang-undang tanpa pandang bulu. Oleh karena itu, mestinya semua orang bisa dengan mudah mengakses pelayanan kesehatan bila dibutuhkan, tanpa harus bersusah payah. Namun itu masih merupakan cita-cita dan hanya sekadar harapan bagi sebagian orang. Bagi sebagian mereka, pelayanan kesehatan yang layak masihlah sebuah komoditi yang mewah dan eksklusif, yang sulit untuk didapat.

Layak dalam artian layak perlakuan, layak biaya, layak jarak dan waktu tempuh, layak mendapat keterangan yang sebenarnya tentang penyakit yang dialami, obat yang layak, waktu tunggu dan ruang tunggu yang layak, perawatan dan ruang rawat yang layak, suara petugas yang layak dan berbagai macam layak lainnya.

Pola pelayanan kesehatan kita hampir tidak berubah dari tahun ke tahun.Petugas hanya menunggu kedatangan pasien di poliklinik-poliklinik dan ruang rawat yang ada di puskesmas dan rumah sakit. Kalaupun ada yang turun langsung ke masyarakat, mereka adalah petugas penyuluh kesehatan (promkes) dan bidan desa untuk kegiatan posyandu dan imunisasi setiap bulannya.

Pola pelayanan seperti ini tentu sudah tidak memadai lagi. Masyarakat butuh sesuatu yang lebih. Pola pelayanan "tunggu bola" sudah saatnya kita tinggalkan, bahkan "jemput bola" pun sudah tidak bisa menjawab kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat saat ini. Metode pelayanan "rebut bola", "rampas bola" harus dilakukan untuk memberi sesuatu yang lebih kepada masyarakat.

Uang berlimpah, transportasi seperti mobil puskesmas keliling (Pusling), sepeda motor dinas bukan barang langka lagi di Puskesmas-puskesmas. Ada Puskesmas yang mempunyai tiga sampai empat unit mobil Pusling dan mayoritas petugas yang memegang program mendapat motor dinas. Ini tentunya harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dan tidak hanya menjadi sarana transportasi petugas dari rumah ke tempat kerja saja.
Para pengambil kebijakan (policy maker) sudah harus mulai berpikir lebih dan bertindak lebih. Cukup sudah menjadi yang biasa-biasa saja. Kalau selama ini masyarakat baru bisa mendapatkan pelayanan dokter spesialis hanya di rumah sakit kabupaten dan provinsi, mengapa kita tidak pernah berpikir untuk mendekatkan akses itu ke mereka?

Tidak sulit

Sepertinya tidak terlalu sulit untuk membuat kunjungan dokter spesialis ke puskesmas-puskemas pinggiran setiap satu bulan sekali secara berkala. Setidaknya empat dokter spesialis dasar saja, spesialis anak, obgin, bedah, dan internist. Percaya atau tidak ini akan memberi efek penurunan angka rujukan yang signifikan dan mengurangi tumpah ruahnya pasien di rumah sakit-rumah sakit rujukan.

Kita akui atau tidak, hampir semua dana yang dialokasikan untuk sektor kesehatan terserap untuk pengobatan (curative), padahal banyak permasalahan kesehatan lainnya yang cukup mendesak dan tidak kalah penting untuk dilakukan dan butuh biaya yang juga tidak kalah banyak. Kalau tetap fokus pada sisi curative berapa pun biaya yang dialokasikan tetap akan terserap dan malah tidak akan mencukupi. Harus lebih banyak lagi ruang dan anggaran yang dialokasikan untuk upaya promosi kesehatan.

Pola penyakit sudah bergeser. Sebagai sebuah negara berkembang yang sedang beranjak maju seperti Indonesia trend penyakit juga sudah bergeser dari penyakit infeksi/menular (communicable disease) ke penyakit tidak menular (non communicable disease) yang justru lebih berbahaya dan mematikan serta berbiaya tinggi. Apa yang harus kita lakukan? Membekali masyarakat dengan berbagai pengetahuan tentang pola hidup sehat sejak dini secara intens dan terstruktur agar bisamemilih dan memilah apa yang boleh dan apa yang tidak untuk kesehatan mereka.

Untuk itu dibutuhkan tenaga-tenaga penyuluh kesehatan yang lebih banyak dan handal. Tinggal di desa berbaur dengan masyarakat. Diberikan fasilitas tempat tinggal, transport dan penghasilan yang layak untuk menunjang tugasnya. Cukup berpendidikan Ahli Madya (akademi) dengan konsentrasi kesmas biar lebih fokus. Penyuluh kesehatan dengan basic sarjana kurang efektif untuk jangka panjang. Setelah sekali kenaikan pangkat mereka mulai berpikir untuk menjadi kepala puskesmas atau kepala seksi di dinas kesehatan.

Satu desa minimal seorang penyuluh. Mereka akan dievaluasi secara berkala dan terus akan ditambah pengetahuan dan diasah kemampuannya melalui pelatihan-pelatihan berjenjang dan berkala. Kedengarannya sederhana. Tetapi bila dilakukan dengan benar ini akan efektif menurunkan kasus-kasus penyakit yang secara otomatis juga menurunkan biaya pelayanan kesehatan menjadi jauh lebih murah ke depannya.

Bila ada program bidan di desa, tentunya bukan suatu hal yang mustahil dan berlebihan bila kemudian ada program penyuluh kesehatan di desa, perawat di desa dan bahkan dokter di desa. Bila program tersebut belum terakomodir dalam bentuk Undang-undang atau Permenkes, bisa dipayungi dengan pergub/perbup dan atau peraturan wali kota. Tidak cukup hanya memberi raskin dan rawatan gratis kelas III kepada masyarakat yang sesungguhnya pemilik dari semua anggaran itu berasal.

Jumlah dokter spesialis jangan dibatasi. Selama ini pengadaan dokter spesialis seperti kartel, dibatasi jumlahnya. Kepala-kepala Unit Pelayanan Fungsional (UPF) di rumah sakit seperti raja-raja kecil yang mempunyai wewenang untuk menolak atau menerima spesialis yang mau masuk ke UPF-nya. Logikanya semakin banyak spesialis semakin mudah pula masyarakat mengakses pelayanannya. Stop mengondisikan eksklusivitas jasa spesialis.

Membuat regulasi

Pemerintah harus membuat regulasi agar masyarakat mendapatkan sesuatu yang menjadi haknya. Ke depan pemerintah sudah harus mulai berpikir dan merencanakan agar para dokter dan dokter spesialis yang memilih berkarir di jalur PNS agar tidak dibolehkan lagi melakukan praktik private atau swasta.

Pemerintah harus sudah mulai menghitung-hitung jumlah penghasilan yang layak diberikan kepada mereka selaku profesional agar tetap fokus di tempat tugasnya dan tidak perlu mencari tambahan di tempat lain. Ini akan jauh lebih menguntungkan semua pihak bila direncanakan dengan matang dan diimplementasikan dengan arif. Tidak akan ada lagi perbedaan kualitas senyum dari seorang dokter yang sama di tempat yang berbeda.
Tidak ada masalah lagi bila kemudian para spesialis (empat spesialis dasar) ditempatkan di puskesmas-puskesmas karena pemerintah sudah menjamin kelayakan penghasilan mereka. Indahnya bila suatu ketika ini bisa terwujud. Akses pelayanan kesehatan begitu dekat dan nyata dengan masyarakat. Ada dokter di setiap desa, ada bidan, ada perawat ada penyuluh dan ada dokter spesialis di puskesmas-puskesmas kecamatan.

Saat ini mungkin terdengar lebay dan tidak mungkin. Tetapi itikat baik dan keyakinan diiringi perencanaan yang matang dan tekat yang kuat dari seluruh masyarakat dan pengambil kebijakan untuk mewujudkannya akan membuat hal ini menjadi kenyataan di suatu ketika. Bukankah orang bisa sampai ke bulan karena benar-benar yakin bahwa bulan itu bisa ditaklukkan? Bukankan sekian puluh tahun yang lalu itu juga terdengar sangat mustahil? Mengangkat kedua kaki secara bersamaan saja manusia tidak bisa bagaimana caranya bisa sampai ke bulan?

Upaya tersebut bisa kita wujudkan dengan memanfaatkan potensi yang ada secara maksimal. Ibarat dua sisi dari satu keping mata uang maka bagaimana caranya agar masyarakat bisa mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan mudah, dan petugas kesehatan juga mendapat penghasilan yang layak untuk menyejahterakan diri dan keluarganya. Marilah berhenti meminggirkan mereka-mereka yang di pinggiran. Marilah kita mulai dari sana. Maka lambat-laun segalanya akan membaik. Semoga!

Yusri Adam, SKM, MPH., Pemerhati masalah kesehatan. Saat ini bekerja sebagai Staf Teknis di Sekretariat Staf Ahli Menteri Kesehatan RI, berdomisili di Jakarta. Email :This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. dan This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

sumber: http://aceh.tribunnews.com