Program JKN: Proporsi Biaya Manfaat Tertinggi untuk Layanan Rujukan
Dua tahun pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) belum mencapai target ideal. Pasalnya, proporsi terbesar biaya manfaat program JKN 2015 terbesar masih pada layanan rujukan di rumah sakit, sebesar 80 persen.
"Idealnya, proporsi biaya manfaat JKN di fasilitas kesehatan (faskes) tahap satu adalah 70 berbanding 30. Sekarang masih jauh dr perkiraan ideal," kata Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Moeloek dalam jumpa pers awal tahun 2016 di Jakarta, Selasa (5/1).
Nila menjelaskan, sebelum pelaksanaan program JKN pemerintah seharusnya gencar melakukan tindakan prevensi dan promosi kesehatan. Sehingga pasien bisa diselesaikan penyakitnya di faskes tingkat satu, karena kondisinya yang tidak parah.
"Ketika JKN diterapkan, masyarakat yang sebelumnya sudah sakit tapi takut ke dokter, langsung memanfaatkan program itu. Akibatnya, rumah sakit langsung penuh di mana-mana," tuturnya.
Disebutkan biaya manfaat program JKN 2015 yang dipergunakan di layanan rujukan sebesar Rp33 triliun (80 persen) dan Rp8,2 triliun (20 persen) pada faskes tingkat satu.
Peserta yang dirujuk ke rumah sakit pun, lanjut Nila Moeloek, hampir 42 persen dirawat di rumah sakit tipe B, dan sekitar 10 persen dirawat di rumah sakit tipe D. Padahal, rumah sakit di Indonesia terbanyak adalah tipe D (37 persen), tipe C (43 persen) dan tipe B sebanyak 17 persen.
"Ini menandakan belum efektifnya sistem rujukan. Pasien banyak menumpuk di rumah sakit tipe B. Kondisi semacam ini akan kita benahi. Pasien yang tidak tertampung di B, harus bisa didistribusikan ke C dan D," tuturnya.
Menkes juga memaparkan perubahan beban penyakit. Jika pada tahun 90-an didominasi oleh penyakit seperti tuberkolusis, ispa, diare, stroke, komplikasi kehamilan, kini didominasi oleh penyakit degeneratif seperti stroke, jantung, kanker, diabetes dan kecelakaan lalu lintas.
"Biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk penyakit degeneratif ini sangat mahal. Misalkan jantung, pada 2015 dana JKN sekitar Rp3,5 triliun, pencernaan Rp3,3 triliun dan stroke sebesar Rp1,5 triliun. Dananya habis buat kuratif," ucap Nila.
Untuk itu, pemerintah akan terus menggiatkan kegiatan promosi kesehatan agar penyakit degeneratif bisa dicegah sedini mungkin. Upayanya, dengan cara memperkuat keberadaan Puskesmas.
"Mulai tahun ini Puskesmas akan diberikan dana penguatan melalui dana BOK (Biaya Operasional Kesehatan) sebesar Rp 42 juta per tahun. Ada sekitar 472 puskesmas yang akan dilibatkan dalam program 2016 ini," tuturnya.
Ditegaskan, dana itu diluar biaya rutin puskesmas yang diberikan setiap bulannya. Selain dana kapitasi yang dialokasikan oleh BPJS kesehatan.
Nantinya, puskesmas akan bekerja sama dengan tim penggerak PKK di masing-masing kecamatan, tokoh masyarakat atau pihak-pihak yang dinilai mampu melaksanakan program promosi kesehatan dengan pendekatan keluarga.
"Cara kerjanya bisa dengan mendatangi langsung rumah-rumah yang tercatat memiliki resiko kesehatan tinggi," tuturnya.
Keluarga yang dimaksud adalah keluarga inti, yakni bapak ibu dan anak-anak. Puskesmas akan memantau status kesehatan, apalagi kalau ada penyakit kronis di dalam keluarga tersebut. (TW)
{jcomments on}