IDI: Sponsorship dalam Program P2KB Tak Langgar Etik Kedokteran
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof Oetama Marsis menegaskan, pemberian sponsorship kepada dokter dalam program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) tidak melanggar kode etik.
"Progran P2KB diperlukan untuk meningkatkan kompetensi dokter di Indonesia. Jika pemerintah tidak bisa menyediakan dana untuk itu, biarkan urusan ini ditangani organisasi profesi," kata Prof Oetama Marsis kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (11/2).
Prof Marsis menambahkan, sponsorship untuk P2KB tidak diperlukan jika dokter junior digaji pemerintah dengan layak. Sehingga mereka bisa mengikuti seminar, simposium atau pelatihan dengan biaya sendiri.
"Tapi persoalannya gaji dokter junior berkisar Rp3-4 juta per bulan. Bagaimana mereka bisa meningkatkan kompetensi jika gajinya hanya cukup untuk biaya sehari-hari," ujar Prof Marsis.
Dijelaskan, ada kewajiban bagi dokter junior untuk memenuhi 250 satuan kredit point (SKP) melalui Program P2KB selama kurun waktu 5 tahun, untuk meningkatkan kompetensi dokter. Kegiatan seminar atau simposium dibatasi hanya 20-30 persen dari total SKP.
"Sisanya bisa dilakukan dengan kegiatan membaca jurnal internasional, dan kegiatan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang (UU) No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran," ujar Prof Marsis menegaskan.
Masalah pemberian sponsorship bagi para dokter menjadi bahasan penting, karena hal itu dianggap sebagai gratifikasi dalam dunia kesehatan.
Dalam pertemuan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2 Februari 2016 lalu, ditegaskan PB IDI sangat mendukung upaya pemberantasan korupsi namun harus dicarikan jalan keluar terkait dengan keberlangsungan program P2KB.
Dalam kesempatan itu, Prof Marsis juga membantah tunduhan yang menyebutkan gratifikasi dokterlah sebagai penyebab mahalnya harga obat. Padahal, mahalnya obat karena bahan baku obat yang masih impor.
"Mahalnya harga obat itu dari bahan bakunya, jadi perlu kita klarifikasi bahwa dokter dalam hal ini tidak mempengaruhi harga obat," ujarnya.
Menurut Marsis, tuduhan mahalnya harga obat akibat adanya dugaan pemberian gratifikasi kepada dokter seharusnya didasari dengan data serta hasil investigasi yang kuat. Apalagi saat ini telah diterapkan model Jaminan Kesehatan Nasional, sehingga masyarakat tak lagi mengeluarkan biaya saat berobat ke dokter.
"Selain itu, pengadaan obat juga telah melalui Formularium Nasional dan e-catalog sehingga hubungan dokter dengan industri obat semakin terminimalisir," kata dokter spesialis kandungan tersebut.
Prof Marsis berharap penetapan subyek hukum gratifikasi didasarkan UU No 20 tahun 2001 yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara, bukan dokter swasta. Yaitu dokter yang bekerja di institusi/rumah sakit pemerintah.
"Sedangkan dokter swasta adalah dokter yang bekerja di RS swasta, dokter praktik pribadi, dokter PNS yang bekerja di RS swasta diluar jam kerjanya sebagai PNS," tuturnya.
Pengaturan sponsorship dan undangan kegiatan ilmiah, menurut Prof Marsis, bisa dibedakan jalurnya. Untuk dokter PNS, disampaikan melalui institusi masing-masing. Sedangkan dokter swasta disampaikan ke organisasi profesi.
"Bagi dokter PNS, urusan dilakukan oleh Kementerian kesehatan. Dan dokter swasta oleh Ikatan Dokter Indonesia," kata Prof Marsis menandaskan. (TW)
{jcomments on}