IDI: Pemerintah Harus Segera Susun Panduan Jasa Medis bagi Dokter
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) meminta pemerintah untuk segera menyusun panduan kompensasi jasa medis dokter. Mengingat selama ini banyak rumah sakit kurang layak dalam menghargai jerih payah dokter, akibat tidak ada aturan yang jelas.
"Dalam aturan pemerintah disebutkan jasa pelayanan sebesar 30-50 persen dari total klaim BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Namun kenyataannya, tidak sebesar itu," kata dr Prasetyo Widhi Buwono SpPD, Ketua Bidang Advokasi dan Monev Terapan JKN, PB IDI dalam diskusi bertajuk "Dua Tahun Penerapan JKN" di Jakarta, Jumat (26/2).
Ditambahkan, pemberian jasa medis bagi dokter, terutana di RSUD (rumah sakit umum daerah) mengacu pada peraturan daerah masing-masing. Sehingga tak ada standardisasi dalam pemberian jasa medis bagi para dokter, yang berlaku secara nasional.
"Kondisi ini menimbulkan kecemburuan di kalangan dokter. Pasalnya jasa medis mereka dibayarkan tergantung pada kemurahan kepala daerahnya. Jika peduli atas nasib dokter, pemberian jasa medis sesuai aturan. Jika tidak, ya terima nasib saja," ujarnya.
Karena itu, lanjut Prasetyo, IDI sangat berharap Kementerian Kesehatan segera menyusun panduan jasa medis untuk manajemen rumah sakit, termasuk RSUD. Dengan demikian, jasa medis dokter diberikan secara transparan dan berkeadilan.
"Pembagian jasa medis yang berkeadilan diharapkan dapat meningkatkan kinerja dokter. Dampaknya jangka panjangnya adalah meningkatnya layanan kesehatan di seluruh Indonesia," ucap dokter spesialis penyakit dalam tersebut.
Sementara itu, Ketua Umum IDI, Prof Ilham Oetama Marsis mengemukan banyak persoalan terjadi selama pelaksanaan 2 tahun program JKN, mulai dari jenis pelayanan, sistem rujukan, ketersediaan obat hingga kualitas manajemen rumah sakit.
"Dalam pelayanan, sistem rujukan harus dibenahi. Mengingat angka rujukan ke rumah sakit masih tinggi yaitu 80 persen, sedangkan kasus di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) hanya 20 persen," ujar Prof Marsis.
Padahal idealnya, lanjut dokter spesialis kebidanan itu, kasus di rujukan 20 persen. Sedangkan kasus di FKTP sebesar 80 persen. Jika tidak, kondisi itu hanya akan menguras dana BPJS Kesehatan.
Menurut Prof Marsis, masih tingginya kasus di rujukan, menandakan ada yang salah dalam pelaksanaan sistem layanan kesehatan. Permasalahan itu tak hanya terkait dengan kompetensi dokter, tetapi juga ketersediaan obat dan alat kesehatan.
"Tak sebanding beban dokter dengan pasien yang dilayani. Kurangnya jumlah FKTP menjadi salah satu sebab. Idealnya dalam pelaksanaan JKN ya 80 persen bisa selesai di FKTP dan 20 persen dana habis di FKTP," sebutnya.
Kemudian, persoalan lain yang disinggung terkait ketersediaan obat serta alat kesehatan. Ketersediaan obat ini diatur dalam formularium nasional (fornas). Dalam persoalan itu, seharusnya profesi dokter baik primer atau spesialis dilibatkan dalam memberikan masukan.
Menurutnya, seringkali terjadi kekosongan obat di pelayanan dengan tak tersedianya obat untuk jenis penyakit tertentu."Karena tidak masuknya obat itu dalam fornas. Tentu IDI berharap masukan bisa diberikan dokter primer atau spesialis agar bisa diikuti ketersediaan obat dan alkes di pelayanan sehingga tak ada masalah lagi," katanya.
Begitupun soal rendahnya tarif INA CBGS yang masih rendah karena dalam beberapa kasus. Serta masih ada disparitas tarif antara tarif rawat inap dan rawat jalan. Pasien yang diinapkan, perawatan intensif, sampai tindakan operasi.
Ditambahkan, disparitas tarif juga terjadi antar berbagai tipe rumah sakit. Persoalan itu kemudian membuat hanya sedikit rumah sakit swasta yang mau bekerjasama karena tak ada subsidi dari pemerintah.
"Ini yang membuat beban pelayanan terhadap pasien ada di rumah sakit pemerintah. Makanya peran organisasi profesi sangat diperlukan untuk memperbaiki masalah ini. Mulai masukan tarif, sistem rujukan, ketersediaan obat dan alat kesehatan di Fornas," kata Prof Marsis menandaskan. (TW)