Paradoks Inovasi Teknologi Alat Kesehatan
Kolom opini Kepala Balitbangkes Siswanto di Republika pada Senin (29/2) menggambarkan situasi ideal pengembangan teknologi kesehatan baik obat maupun alat kesehatan yang patut didukung. Dalam artikel tersebut, Siswanto berargumen tentang pentingnya prinsip pelayanan pengobatan berbasis bukti (evidence based medicine) yang dianut oleh otoritas pemberi izin edar di Indonesia, yaitu BPOM untuk obat dan Dirjen Faralkes untuk alat kesehatan.
Namun pada kenyataannya, perkembangan teknologi kesehatan di negara berkembang seperti Indonesia penuh paradoks dan sarat atas konflik kepentingan. Di satu sisi, pemerintah perlu melindungi masyarakat dari teknologi yang dianggap belum terbukti sehingga pembuktian melalui uji klinis sebelum diedarkan menjadi sebuah keharusan.
Di sisi lain, infrastruktur yang dibutuhkan untuk melaksanakan uji klinis sangat terbatas, seperti fasilitas penelitian, tenaga dokter peneliti, penguasaan terhadap good clinical practice (GCP), putusan komite etik yang bisa diterima secara luas, dan regulasi yang melindungi peneliti maupun pasien. Di Amerika, biaya yang dibutuhkan untuk satu uji yang bersifat terapi berkisar 30-40 juta dolar AS dengan tingkat kesuksesan yang sangat rendah.
Berbeda dengan industri farmasi yang sudah lebih mapan secara industri dan telah didukung oleh regulasi yang dibutuhkan, inovasi teknologi alat kesehatan selama ini mejadi topik yang kerap diabaikan. Menurut data Kemenkes tahun 2014, untuk pemenuhan alat kesehatan, Indonesia memiliki ketergantungan impor yang sangat tinggi, yaitu 94 persen dengan pangsa pasar domestik sebesar Rp 12 triliun.
Produk lokal yang dikembangkan produsen dalam negeri masih berkutat pada produk teknologi rendah, seperti tempat tidur rumah sakit, inkubator bayi, dan alat-alat kesehatan habis pakai, dengan bahan baku 95 persennya berasal dari impor.
Dengan kondisi pasar seperti itu, bisa dimengerti apabila fokus regulasi yang dimiliki oleh Kemenkes selama ini terbatas pada izin produksi yang diatur melalui Permenkes 1189/2010 tentang Produksi Alat Kesehatan, dan izin edar yang diatur melalui Permenkes 1190/2010 tentang Izin Edar Alat Kesehatan dan 1191/2010 tentang Izin Penyalur Alat Kesehatan.
Apabila aturan uji klinis untuk pengembangan farmasi sudah diatur melalui Permenkes Nomor 66/2013 tentang Penyelenggaraan Registri Penelitian Klinik dan Peraturan Kabadan POM Nomor 9/2014 tentang Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik, untuk alat kesehatan regulasi yang ada hanya Permenkes 1190 yang menyatakan kategori alat kesehatan kelas 3 diperlukan uji klinis sebelum bisa diedarkan.
Bagaimana mekanisme uji klinis dilakukan, kepada siapa pengembang teknologi harus mendaftar uji, dan siapa yang berhak memberikan penilaian, belum diatur secara khusus. Hal ini dikarenakan belum pernah ada produsen dalam negeri mengajukan izin untuk alat kesehatan kelas 3. Sedangkan, alat kesehatan kelas 1 dan 2, uji alat yang dilakukan hanya sesuai dengan standar yang dimiliki oleh produsen, belum dalam standar yang diatur regulasi.
Minimnya uji klinis yang dilakukan di Indonesia sebenarnya bukan hanya di sektor alat kesehatan. Portal registri penyakit Indonesia milik Balitbangkes mencatat sembilan studi yang sedang dilakukan. Informasi tentang uji klinis farmasi yang didaftarkan di BPOM tidak tersedia. Sedangkan, dari portal www.clinicaltrial.gov, didapat 288 uji yang pernah dilakukan Indonesia, dengan 62 uji yang masih berjalan. Angka ini sangat rendah dibandingkan negara tetangga, seperti Filipina 779 uji, Malaysia 833 uji, Singapura 1.565 uji, dan Thailand 1.860 uji.
Melihat contoh kasus Warsito, sejak tahun 2012 sudah mengirimkan surat kepada Menteri Kesehatan meminta untuk diberikan arahan dan jalan keluar atas temuan ECCT dan ECVT agar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Kerja sama dengan Balitbangkes yang disepakati setelahnya memiliki banyak kendala, seperti tidak adanya mekanisme transfer biaya dari swasta ke pemerintah untuk melakukan penelitian, kurangnya kepercayaan di antara pihak yang terlibat, dan keterbatasan tenaga peneliti yang ada. Masalah yang ada dibiarkan larut tanpa ada penyelesaian hingga menjadi konflik panjang antara Kemenkes, profesi dokter, pasien, dan Warsito akhir tahun 2015.
Gagalnya riset bersama antara Kemenkes dan Warsito sangat disayangkan, apalagi melihat fakta bahwa kanker semakin menjadi beban ekonomi yang memberatkan negara dan masyarakat. BPJS Kesehatan pada tahun 2014 mencatat pendanaan pengobatan kanker mencapai Rp 2 triliun.
Studi ASEAN Cost In Onclogy (ACTION) mengungkapkan, 70 persen pasien kanker meninggal dengan terbebani soal keuangan setelah satu tahun terdiagnosis. Lebih dari 40 persen penyintas jatuh miskin membiayai terapi pada satu tahun pertama.
Karena permasalahan yang begitu rumit, Kemenkes sebagai regulator diharapkan membuat kebijakan-kebijakan yang lebih interventif agar industri pengembangan teknologi kesehatan bisa tumbuh dan menjadi bagian dari solusi. Segala kegaduhan yang terjadi terkait ECCT dan ECVT sebenarnya bisa dihindari apabila regulasi turunan dari UU No 39/2009 tentang Kesehatan untuk mengatur uji klinis alat kesehatan segera dibuat ketika Warsito meminta arahan empat tahun lalu.
Balitbangkes pernah melakukan terobosan regulasi dalam meningkatkan inovasi lewat Permenkes 003/2010 tentang saintifikasi jamu dalam penelitian berbasiskan pelayanan. Ini juga bisa dijadikan yurisprudensi bagi kemungkinan saintifikasi alat kesehatan.
Insentif riset yang selama ini diberikan oleh Kemenristekdikti kepada para inventor alat kesehatan yang tersebar di beberapa universitas harus dilihat sebagai investasi publik terhadap peningkatan daya saing bangsa. Sangat disayangkan apabila investasi tersebut hanya berakhir pada produk prototipe tanpa diberi kesempatan untuk bisa ikut bersaing di pasar karena kurang didukung oleh regulasi yang memadai.
Kerja sama dan komunikasi yang baik antarpemerintah maupun dengan profesi dokter dan inventor tentunya akan menyisihkan paradoks yang selama ini ada dalam pengembangan alat kesehatan. Karena saya percaya bahwa tidak ada tempat yang lebih membutuhkan dan lebih cocok untuk melakukan uji klinis terhadap teknologi yang ditemukan oleh Warsito dan pengembang teknologi kesehatan lain, selain tanah air tercinta, Indonesia.
Fauzan Zidni
Direktur Edwar Teknologi
sumber: http://www.republika.co.id/