404 Kabupaten/Kota Alami Masalah Gizi Tingkat Akut dan Kronis
Data Pemantauan Status Gizi (PSG) Kementerian Kesehatan (Kemkes) di 496 kabupaten/kota pada 2015 menunjukan, ada sebanyak 404 kabupaten/kota yang mengalami masalah gizi tingkat akut dan kronis. Dan hanya 9 kabupaten/kota yang tak memiliki masalah pada gizi.
"Sedangkan sisanya 26 kabupaten/kota dengan masalah gizi akut dan 27 kabupaten/kota gizi kronis," kata Direktur Gizi Masyarakat, Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat, Kemkes, Doddy Izwardy di Jakarta, Jumat (18/3)
Hadir kesempatan itu, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Kemkes, Anung Sugihantono, Ketua Umum Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), Minarto dan Kasubdit Kesehatan Usia Sekolah dan Remaja, Direktorat Kesehatan Keluarga Kemkes, Christina Manurung.
Doddy menjelaskan, PSG sebenarnya telah dilakukan sejak 2014 lalu untuj mengetahui permasalahan gizi di Indonesia. Namun PSG baru dilakukan secara terbatas di 150 kabupaten/kota.
"Pada PSG 2015, jumlah daerah diperluas hingga 459 kabupaten/kota. Hasilnya, 18,7 persen balita mengalami gizi kurang, 29 persen balita dengan badan pendek (stunting) dan 11,9 persen balita dengan berat badan kurang (kurus)," ujarnya.
Dirjen Binkesmas, Anung Sugihantono menegaskan, Indonesia sejak tahun 70-an hingga saat ini memiliki masalah gizi yang serius. Kondisi itu jika tidak dilakukan intervensi, akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia (SDM) seperti kegagalan pertumbuhan, pendek, kurus.
"Semua kondisi itu akan membuat anak mengalami gangguan kognitif dan kegagalan pendidikan," ujarnya.
Selain itu, Anung menambahkan, gangguan gizi pada awal kehidupan juga berdampak pada peningkatan risiko gangguan metabolik. Hal itu akanberujung pada kejadian penyakit tidak menular seperti diabetes tipe II, stroke, jantung pada usia dewasa.
Untuk itu, Anung menilai, upaya intervensi yang dilakukan tak hanya spesifik pada bidang kesehatan, tetapi juga non kesehatan seperti masalah ekonomi. Karena anak2 yang mengalami gizi buruk setelah kesehatannya pulih, akan kembali bernasib sama setelah kembali di rumah.
"Begitu sampai rumah tidak ada makan yang layak, karena keluarga tidak punya uang," ujarnya.
Untuk itu, lanjut Anung, upaya intervensi akan dilakukan dengan pendekatan keluarga dengan tujuan mengubah perilaku keluarga dan masyarakat, dalam pengenalan diri terhadap risiko penyakit.
Selain juga mengajak pemerintah daerah untuk melakukan penguatan pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan ekonomi keluarga. Serta sosialisasi seputar gizi dan risikonya terhadap penyakit, sebagai pengetahuan agar saat ekonomi bertumbuh tidak menjadi gizi berlebih.
Dengan demikian, lanjut Anung, upaya intervensi secara spesifik bidang kesehatan dilakukan sebesar 30 persen, dan sisanya 70 persen berupa non kesehatan, seperti peningkatan ekonomi keluarga.
Hal senada dikemukakan Ketua Umum Persagi, Minarto. Pemerintah daerah harus diajak aktif dalam permasalahan gizi di daerah. Karena segencar apapun intervensi pemerintah, hasilnya tidak akan optimal jika pemerintah daerahnya tidak peduli.
"Dan yang tak kalah penting adalah pemberdayaan masyarakat secara ekonomi, agar tidak ada lagi anak-anak yang mengalami gizi kurang, bahkan gizi buruk lantaran tidak ada makanan di rumah," ujarnya.
Selain itu, lanjut Minarto, transfer pengetahuan kepada masyarakat. Karena kasus gizi kurang terjadi pada sekitar 24 persen keluarga mampu. Dan kondisi gizi kurang itu terjadi pada 43 persen keluarga miskin.
"Melihat data itu, ada yang salah. Seharusnya pada keluarga mampu tak ada lagi kasus anak kurang gizi, tetapi ada 24 persen. Berarti ada pengabaian keluarga dalam masalah gizi. Bukan hanya urusan ekonomi," ucap mantan Direktur Gizi Masyarakat Kemkes itu.
Untuk itu, Minarto menilai, pentingnya ketersediaan ahli gizi di Puskesmas guna mengedukasi masyarakat seputar pentingnya gizi. "Saat ini ada sekitar 22 persen Puskesmas kita dari 9000 Puskesmas yang ada tak ada ahli gizinya. Kami berharap pemerintah bisa memenuhi tenaga ahli gizi di Puskesmas," ucap Minarto menandaskan. (TW)