Peserta Mandiri Tak Mampu Bayar Iuran Diusulkan Masuk Skema Jamkesda
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fachmi Idris menyatakan, peserta mandiri yang tak mampu lagi membayar iuran bulanan, diusulkan untuk masuk skema Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah).
"Diharapkan tidak ada lagi peserta mandiri yang kesulitan saat berobat, karena iurannya sudah ditangani pemerintah daerah lewat Jamkesda," kata Fachmi dalam acara "Public Expose" 2016 di Jakarta, Rabu (13/4).
Fachmi menjelaskan, peserta mandiri yang bisa masuk dalam skema Jamkesda adalah mereka yang tidak masuk kelompok PPU (pekerja penerima upah). Kondisi ekonomi keluarga saat itu sedang memburuk, sehingga perlu dibantu sementara.
"Tapi ada konsekuensinya, jika kondisi keuangan membaik harus segera lapor. Mereka juga akan pengawasan dalam pengurusan pasport, surat izin mengemudi atau kartu tanda penduduk jika ternyata tidak memberi data yang benar," tutur Fachmi.
Dalam kesempatan itu, Fachmi Idris yang didampingi seluruh jajarannya membantah BPJS Kesehatan kesulitan uang dalam membayar klaim. Karena hingga akhir tahun lalu memiliki aset lancar berupa uang kas sebesar Rp 1,94 triliun.
Selama ini, BPJS Kesehatan memang mencatatkan angka missmacth. Missmatch di sini timbul akibat tingginya pembayaran klaim, sementara tidak diimbangi dengan iuran yang masuk.
Proyeksi dari RKAP (Rancangan Kerja Anggaran Perusahaan) 2016, BPJS Kesehatan masih defisit sebesar Rp 9,25 triliun. BPJS Kesehatan akan menaikkan iuran sehingga ada potensi tambahan Rp 2,19 triliun. Sehingga masih ada potensi defisit sekitar Rp 7,06 triliun di tahun ini.
"Jadi tidak benar kami BPJS Kesehatan nggak punya uang buat bayar klaim dari rumah sakit. Buktinya kita punya kas tahun lalu setelah audit sebesar Rp 1,94 triliun," katanya.
Fahmi menjelaskan, dana kas sebesar itu berasal dari sisa penerimaan setelah dipotong manfaat atau klaim sebesar Rp57,80 triliun.
Sementara penerimaan berasal iuran premi sebesar Rp52,78 triliun, penerimaan dari suntikan negara lewat Penanaman Modal Negara (PMN) yang cair pada September 2015 sebesar Rp 5 triliun, serta hasil dana kelola investasi BPJS Kesehatan sebesar Rp 1,67 triliun.
"Kita kerja keras dan berhasil mengumpulkan yield dari investasi di beberapa instrumen sebesar Rp 1,67 triliun. Memang BPJS Kesehatan akan selalu missmatch klaim dengan iuran, tapi kita kurangi dengan imbal dari hasil investasi kami," ucapnya.
Kalaupun banyak kasus rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain yang sulit mencairkan klaim, ujar Fahmi, hal itu terjadi karena dokumen yang disertakan belum lengkap, atau harus diverifikasi kembali.
"Kita ada uang. Pembayaran klaim pada prinsipnya kalau berkas lengkap pasti cepat. Kan harus confirm, clarified, and qualified. Kalau nggak hati-hati nanti bisa jadi temuan, soalnya ini negara, harus hati-hati keluarkan," ungkapnya.
Ia menuturkan, klaim berasal dari jumlah kunjungan atau pemanfaatan fasilitas kesehatan peserta BPJS Kesehatan sebanyak 100,62 juta kunjungan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Kemudian ada 39,81 juta rawat jalan, dan 6,31 juta kunjungan rawat inap di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL) di rumah sakit atau poliklinik.
"Selama 2015, program jaminan kesehatan nasional yang dikelola BPJS Kesehatan telah bekerjasama dengan 19.969 FKTP, 1.847 rumah sakit, dan 2.813 fasilitas kesehatan penunjang seperti apotek, optik, dan lainnya," kata Fahmi.
Fachmi mengemukakan, tahun ini BPJS Kesehatan kembali mendapat opini Wajar Tanpa pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS) dan BPJS Kesehatan untuk periode yang berakhir pada 31 Desember 2015.
Untuk Laporan Tahun 2015, audit dilakukan KAP Mulyamin Sensi Suryanto & Lianny (MSSL) yang berafiliasi dengan Moore Stephens International Limited. (TW)
{jcomments on}