Pemerintah Diminta Transparan dalam Penetapan Tarif INA-CBGs
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Ilham Oetama Marsis menilai pemerintah tidak transparan dalam penetapan tarif INA-CBGs dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Karena telah menafikan peran dokter sebagai tenaga strategis dalam pembangunan kesehatan di Indonesia.
"Konsep INA-CBGs yang digunakan dalam JKN saat ini, kan sebelumnya pernah ditolak pemerintah Malaysia. Karena perhitungan tarifnya kurang tepat," kata Prof Marsis dalam diskusi bertajuk "Profesionalisme Dokter-Dokter Gigi Menuju Universal Coverage di Era MEA", di Jakarta, Rabu (27/4).
Diskusi yang digelar memperingati hari ulang tahun ke-11 Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) itu menghadirkan pembicara Ketua KKI Bambang Supriyatno, Anggota Komisi VIII DPR Dede Yusuf, mantan Menteri Kesehatan Prof Farid Anfasa Moeloek, Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) Intan Ahmad, dan Ketua Umum Ikatan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Farichah Hanum.
Prof Marsis menuturkan, pihaknya sebelum program JKN diterapkan pada awal 2014 sudah mengajukan usulan besaran iuran dan tarif yang pas bagi dokter dan tenaga kesehatan. Usulan iuran penerima biaya iuran sebesar Rp36 ribu tak direspon, pemerintah malah menerapkan iuran sendiri sebesar Rp 19.225 per bulan per orang.
"Dampaknya baru terlihat satu tahun kemudian. Anggaran BPJS Kesehatan pada 2014 akhir tekor sebesar Rp5,6 triliun," ucapnya.
Menurut Prof Marsis, defisit anggaran BPJS Kesehatan akan terus terjadi jika kenaikan iuran PBI pada tahun ini hanya sebesar Rp3.775. Karena kenaikan sebesar itu hanya menutupi defisit anggaran seperti tahun-tahun sebelumnya sebesar Rp6 triliun.
"Tak ada anggaran untuk meningkatkan kualitas layanan, termasuk perbaikan jasa tenaga dokter dan kesehatan lainnya. Nasib dokter akan sama, tak sebanding antara pekerjaan dengan kesejahteran," tutur dokter spesialis kebidanan tersebut.
Kalaupun terjadi kenaikan anggaran dalam JKN, lanjut Prof Marsis, dananya akan dipergunakan untuk pengendalian penduduk melalui program Keluarga Berencana dan perbaikan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).
"Tak terlihat ada perbaikan kesejahteraan dokter disana. Padahal, penetapan jasa dokter yang ada saat ini masih jauh dari harapan," kata Prof Marsis menegaskan.
Hal senada dikatakan Ketua KKI, Prof Bambang Supriyatno. Seharusnya dokter masuk dalam tenaga strategis dalam pembangunan kesehatan. Sehingga perhitungan tarifnya berbeda dengan profesi lainnya.
"Investasi sebagai dokter itu mahal, itu sebabkan jasa dokter seharusnya dibayar mahal juga. Jadikan dokter sebagai tenaga strategis," ucapnya.
Mantan Ketua KKI, Prof Meinaldi Rasmin meyayangkan pendidikan dokter yang digelar secara massal. Akibatnya, kualitas dokter saat ini sulit dikendalikan.
"Fakultas kedokteran di Indonesia kebanyakan. Idealnya sebanyak 60 FK saja. Saat ini ada 78 FK. Akibatnya, sulit mengendalikan kualitas lulusannya," ucap Guru Besar FK Universitas Indonesia itu.
Padahal, lanjut Prof Meinaldi, kualitas dokter yang mumpuni adalah kunci dari keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia. "Yang penting bukan banyaknya, tetapi penyebarannya bisa merata di seluruh Indonesia," katanya.
Karena itu, ia sangat mendukung pemerintah yang akan mewajibkan para dokter, termasuk dokter spesialis untuk mengabdikan ilmunya ke antero negeri. Terutama pada 5 bidang spesialis yaitu bedah, penyakit dalam, kebidanan, anastesi dan anak.
"Yang penting kesejahteraan dokter terjamin. Pemerintah harus bisa menyelaraskan antara pekerjaan dengan kesejahteraan dokter," ucap meinaldi menandaskan. (tri)