Teknologi DBS, Membuat Penderita Parkinson Kembali Bebas Bergerak
Teknologi Deep Brain Stimulation (DBS) saat ini telah menjadi standar pengobatan di dunia bagi penderita parkinson yang ingin kembali bebas bergerak. Teknologi tersebut kini sudah bisa dilakukan sejumlah rumah sakit di Indonesia.
"Teknologi DBS membuat kualitas hidup penderita parkinson menjadi lebih baik," kata
dokter spesialis bedah syaraf Rumah Sakit (RS) Siloam Hospitals Kebon Jeruk, Frandy Susatia dalam diskusi media di Jakarta, Selasa (3/5).
Dijelaskan, parkinson adalah satu penyakit yang menyerang otak. Gejala utama berupa gangguan gerak yang disebabkan berkurangnya dopamin (zat yang membantu mengirimkan sinyal dalam sistem syaraf) di otak.
Kondisi ini terjadi akibat kematian sel substansia nigra atau otak tengah. Hingga kini belum diketahui pasti penyebab terjadinya parkinson. Namun diduga parkison disebabkan oleh gabungan dari sejumlah faktor seperti genetik (keturunan), lingkungan dan juga penuaan.
"Karena semakin tua, jumlah dopamin dalam otak akan semakin berkurang. Kalau berkurangnya sudah sampai 80 persen, maka biasanya muncul gejala-gejala parkinson," ujar Frandy.
Sebelum ini, lanjut Frandy, pengobatan parkinson dilakukan dengan minum obat-obatan, yang bisa menimbulkan efek samping berat bagi penderitanya. Karena itu, teknologi DBS menjadi terobosan yang luar biasa pengobatan parkinson.
Hal senada dikemukakan dokter syaraf RS Siloam Kebon Jeruk lainnya, Made Agus M Inggas. Perasi stimulasi otak atau DBS membuat pasien bisa hidup kembali normal, dan tidak tergantung dengan obat-obatan oral lagi.
"Pada umumnya pasien bisa kembali pulih seperti semula. Tak ada lagi gemetar atau tremor, kekakuan sendi, melambatnya seluruh gerak, serta gangguan postur tubuh," kata Made Agus.
Teknologi DBS, lanjut Made Agus, tidak bisa diterapkan pada semua penderita parkinson. Teknologi itu untuk pasien yang sudah lebih dari 5 tahun minum obat, tidak mengalami gangguan jiwa dan gangguan memori.
Operasi DBS di Siloam Hospitals dilakukan oleh tim dokter multidisiplin yang solid, terdiri dari dokter spesialis saraf, dokter spesialis bedah saraf, psikiater, rehabilitasi medis, terapi bicara hingga ahli gizi.
Sebelum ditemukannya DBS, terapi pembedahan dilakukan dengan cara lesi atau membakar bagian otak paling dalam. Terapi lesi sudah lama ditinggalkan karena hanya mengurangi gejala parkinson secara sementara.
DBS telah diakui Food Drug Administration (FDA) Amerika sejak 2002 lalu. Tindakan tersebut mulai dikembangkan tak hanya untuk parkinson tetapi juga pada untuk penyakit lainnya yang berhubungan dengan otak tengah seperti distonia, gangguan obsessive compulsive, dan epilepsi.
"Keuntungan lainnya dari DBS, selain tidak merusak otak, programnya dipasang sesuai kebutuhan," kata Made Agus seraya menyebutkan RS Siloam saat ini telah berhasil melakukan operasi DBS pada 12 pasien parkinson.
Dijelaskan, DBS adalah tindakan pembedahan di otak dengan menaruh kabel kejut untuk mendorong dopamin agar kembali bekerja normal. Kabel kejut memiliki baterai kecil yang dipasang di dada pasien.
"Baterai bertahan selama 5 tahun. Setelah habis akan diperbaharui lagi. Sambil dievaluasi kesehatannya. Karena penyakit parkinsonnya tidak hilang. Hanya lebih terkontrol saja," ujar Made Agus.
Disinggung soal biaya operasi DBS, pihak RS Siloam Kebon Jeruk menyebut angka Rp399 juta. Masih terbilang mahal, karena komponen berbiaya tinggi yaitu baterai pemicu dopamin masih diimpor dari Amerika. (TW)