PROGRAM IMUNISASI: Mencari Solusi Pemerataan Vaksin Di Indonesia
Tiga tahun lalu, Soesi bermimpi dapat memberikan kehidupan yang lebih layak untuk putra semata wayang-nya yang baru lahir dengan hijrah ke Jakarta. Dalam bayangannya, hidup di Ibukota akan melepaskannya dari jerat kemiskinan di kampung halamannya di Jawa Tengah.
Pekerjaan sebagai tukang cuci-setrika dan asisten rumah tangga di sebuah rumah kos pun dilakoninya agar bisa terus menyuapi anaknya, Najwa. Si kecil yang kini menginjak usia tiga tahun kerap ditinggal sen-diri saat ibunya sedang bekerja.
Kesibukan tak jarang membuat Soesi lupa akan kebutuhan dasar balitanya akan imunisasi. Di benaknya, dia berpikir 'Tak perlulah kontrol rutin ke Puskesmas atau Posyandu, toh anakku sehat-sehat saja sejauh ini; usianya sudah menginjak 3 tahun.'
Menurutnya, kelengkapan vaksinasi bukan hal yang harus dirisau-kan. Lebih penting baginya untuk mencari uang agar perut anaknya bisa kenyang setiap hari dan kelak, bila sudah waktunya, bisa masuk sekolah. "Biaya sekolah mahal. Mikirin itu saja susah," kesahnya.
Soesi hanyalah secarik guntingan potret sebagian orang tua di Indonesia yang belum menyadari pentingnya imunisasi bagi buah hati mereka. Vaksin dan imunisasi, oleh sebagian kalangan, belum dinilai sebagai 'investasi' bagi masa depan tumbuh kembang jasmani anak.
United Nations Children's Emergency Fund (Unicef) bahkan menempatkan Indonesia pada posisi keenam sebagai negara yang memiliki jumlah terbanyak bayi yang tidak divaksinasi atau belum mendapatkan imunisasi lengkap.
Di republik ini, setiap tahunnya ada sekitar 700.000 bayi yang tidak menerima layanan imunisasi. Ironisnya, banyak di antara mereka justru berada di daerah perkotaan berpendapatan rendah. Sebut saja, seperti di Cilincing, Jakarta Utara.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) memprediksi 1,5 juta nyawa meregang setiap tahun akibat kurangnya vaksinasi. Satu dari lima anak juga diprediksi tidak mendapatkan imunisasi rutin untuk tetanus, difteri, dan pertusis.
Bayi yang hidup di tengah jerat kemiskinan ditengarai lebih berisiko kurang imunisasi. Itu pula yang menjadi penjelasan mengapa di Indonesia penyakit seperti wabah campak, polio, dan diphtheria masih saja ditemukan.
Menilik latar belakang tersebut, Unicef meminta agar Pemerintah Indonesia segera bertindak untuk mengubah situasi 'darurat imunisasi' tersebut.
Organisasi naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu mengajak pemerintah melakukan intervensi. Salah satu gagasan yang diusulkan Unicef adalah penggunaan teknologi komunikasi mutakhir untuk membenahi sistem pemantauan bayi yang diimunisasi, sebagai ganti dari sistem pendataan yang selama ini gagal berfungsi.
Innovation Lead Unicef Indonesia Jeffrey Hall, dalam newsletter terbarunya yang diterima Bisnis.com, memaparkan di daerah berpendapatan rendah, petugas kesehatan kerap dihadang kendala dalam melacak dan memonitor setiap anak yang menerima vaksin yang diperlukan.
"Itulah mengapa dibutuhkan program baru ini. Tahun lalu, Unicef mulai membuat percontohan teknologi RapidPro; sebuah program yang menggunakan pesan singkat SMS untuk mengumpulkan, memonitor, dan menyebarkan informasi kesehatan," jelasnya.
Teknologi RapidPro memungkinkan petugas kesehatan untuk mengidentifikasi lokasi lingkungan yang berisiko tinggi dan memverifikasi vaksin bulanan pada pusat-pusat kesehatan.
Di samping itu, teknologi tersebut dapat melacak bayi-bayi yang belum mendapatkan dosis vaksinasi yang tepat. Keunggulan lainnya, RapidPro dapat mengirimkan reminder kepada orang tua tentang jadwal vaksinasi bagi buah hatinya.
"RapidPro adalah software open source yang memungkinkan spesialis program dan noncoder menjalankan pemantauan dan pelaporan berbasis SMS. Ini memanfaatkan teknologi komunikasi dalam mempercepat dan memperkuat hasil untuk anak-anak," kata Jeffrey.
PARTISIPASI PEMUDA
Solusi yang ditawarkan oleh Unicef tersebut dibangun di Innovations Lab dengan meli batkan partisipasi pemuda untuk memikirkan, menciptakan, mencoba, dan menguji solusi alternatif untuk meningkatkan kualitas hidup anak-anak di Indonesia.
Di Indonesia sendiri, Innovations Lab baru dimulai pada 2013 dan disokong bantuan dana dari U.S. Fund's Next Generation, yang teridiri atas kelompok pemimpin muda, pengusaha, dan inovator berusia 20-30 tahun yang menjadi supporters aktif Unicef.
Belum lama ini, mereka terbang jauh-jauh dari Negeri Paman Sam khusus untuk melihat langsung kondisi di lapangan bagaimaa Indonesia menangani pelayanan vaksinasi bagi bayi-bayi di lingkungan berpendapatan rendah.
Salah satu dari kegiatan selama sepekan itu adalah meninjau kawasan Cilincing untuk memantau bagaimana ratusan anak menerima vaksinasi polio. Dengan melihat langsung ke lokasi, mereka dapat memikirkan alternatif solusi bagi masalah darurat vaksin di Tanah Air.
"Saya memutuskan untuk mengunjungi Indonesia karena saya ingin tahu mengenai peran Unicef di negara-negara berpenghasilan menengah, terutama bagaimana peran ini berinteraksi dengan program pemerintah," ujar salah satu peserta, Bonner Campbell, yang juga analis keuangan senior di Netflix.
Sebenarnya, pemerintah tidak tutup mata dan lepas tangan terhadap masalah darurat vaksin untuk anak di Tanah Air. Melalui Kementerian Kesehatan dan kerjasama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), berbagai upaya pemerataan imunisasi telah digencarkan.
Sehubungan dengan Pekan Imunisasi Dunia yang diperingati setiap akhir April, upaya untuk membangun infrastruktur kesehatan guna memudahkan akses terhadap vaksinasi di seluruh pelosok Tanah Air pun kembali digaungkan.
Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Yosephine Hutapea, menjelaskan pemerintah akan semakin menekankan akses terhadap imunisasi bagi bayi di bawah 1 tahun serta booster bagi anak sekolah dasar.
"Dengan imunisasi, cacat dan penyakit menular bisa dicegah. Ini adalah intervensi yang paling efektif. Bahkan, bisa dikatakan, angka kematian bisa dicegah sampai 1,5 juta jiwa jika situasi imunisasi global membaik," ujarnya.
Sejauh ini, RI telah berhasil membasmi wabah cacar dan mengklaim pembersihan terhadap wabah polio dengan bukti sertifikat dari WHO. Target pemerintah selanjutnya adalah mengeradikasi pertusis, tetanus, dan campak.
"Tantangan kita saat ini adalah meningkatkan cakupan imunisasi dan vaksinasi. Sebab, selama ini masyarakat berpikir bahwa imunisasi itu hanya untuk anak bayi saja.
Apalagi, dukungan layanan kesehatan masih relatif kurang. Belum lagi, adanya provokasi kontraimunisasi yang bertentangan dengan harapan kita bersama."
Lantas, kapan hak-hak anak untuk mengakses imunisasi bisa benar-benar terpenuhi? Jangan sampai slogan Pekan Imunisasi yang dibuat pemerintah, "Menutup Senjang Imunisasi: Imunisasi untuk Semua Sepanjang Hidup", hanya berakhir menjadi kata-kata mutiara semata.