BPOM: Trend Takjil Berbahan Berbahaya Makin Berkurang
Hasil pemantauan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) selama bulan Ramadhan tahun ini menunjukkan trend penjualan makanan pembuka puasa (takjil) mengandung bahan berbahaya semakin berkurang. Sebelumnya, takjil ditemukan bahan pengawet dan pewarna tekstil.
"Sejak 2 tahun terakhir ini, BPOM tak sendirian dalam pengawasan makanan. Kami kerja sama dengan dinas kesehatan kabupaten/kota untuk pengawasan bahan pangan di wilayahnya masing-masing," kata Pelaksana tugas (Plt) Kepala BPOM, Tengku Bahdar Johan kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (9/6).
Dijelaskan, proses pengawasan dan pembinaan pengolahan pangan oleh usaha kecil sebenarnya telah dilakukan 2 minggu jelang bulan puasa Ramadhan. Hal itu dilakukan guna mencegah beredarnya makanan takjil yang dibuat dengan bahan berbahaya.
"Jadi ketika Ramadhan tiba, para usaha rumahan sudah memahami penggunaan bahan yang benar untuk pembuatan takjil," ucap Bahdar Johan menegaskan.
Ia menambahkan, pengawasan di DKI Jakarta dilakukan di antaranya di pasar yang kerap menjadi lokasi pusat jualan takjil seperti pasar Benhil, Jakarta Pusat, pasar Rawamangun, Jakarta Timur dan pasar Senen, Jakarta Pusat.
Bahdar mengungkapkan, sektor makanan memiliki nilai ekonomi yang lebih besar dibandingkan obat dan kosmetik. Maka BPOM juga mengharapkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pangan berbahaya.
Hal senada dikemukakan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, BPOM Suratmono menyebutkan,
pada 2013 tercatat ada 12 persen usaha yang menggunakan rhodamin, bahan pewarna berbahaya. Angka itu turun menjadi 10 persen pada 2014, kemudian pada 2015 menjadi 11 persen.
Sementara penggunaan bahan pengawet formalin pada pangan takjil pada 2013 tercatat 13 persen. Kemudian turun menjadi 12 persen pada 2014. Dan kembali turun di tahun 2015 menjadi 6 persen.
Suratmono mengemukakan, pengawasan makanan dilakukan di hampir semua provinsi. Pada pelaksanaannya, BPOM juga merangkul lembaga lain untuk pegawasan ini.
"Kami kerja sama dengan bea cukai untuk pengawasan bahan pangan. Sebelumnya, kerja sama kami lakukan dengan Badan Narkotika Nasional untuk pengawasan dan pemberantasan makanan mengandung narkotika," katanya.
Ditambahkan, target pengawasan lainnya yakni pangan tanpa izin edar, rusak, kadaluarsa, dan jajanan takjil. Dari sidak yang dilakukan mulai 23 Mei sampai 7 Juni 2016, nilai pangan tidak aman yang berhasil disita mencapai miliaran.
"Nilainya hampir Rp 2,5 miliar," kata Suratmono menegaskan. (TW)