Ditemukam Obat Ilegal Berefek Halusinasi
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Kepolisian Republik Indonesia berhasil menemukan lima gudang produksi dan distribusi obat ilegal di daerah Balaraja, Banten. Obat-obat ilegal tersebut didominasi zat pemberi efek halusinasi.
"Temuan didominasi obat yang sering disalahgunakan untuk menimbulkan efek halusinasi," kata Kepala BPOM, Penny K Lukito di Jakarta, Selasa (6/9).
Terkait penemuan basis produksi dan distribusi itu, Penny mengatakan pihaknya bersama Polri telah melakukan penyitaan pada Jumat (2/9) setelah didahului dengan penelusuran kurang lebih delapan bulan.
Lima gudang produksi dan distribusi obat ilegal itu terdapat di Komplek Pergudangan Surya Balaraja blok E-19, F-36, H-16, H-24 dan I-19, Jalan Raya Serang kilometer 28, Balaraja, Banten.
"Operasi itu dikembangkan dari adanya penyalahgunaan obat Carnophen hampir di seluruh wilayah Indonesia,"ujar Penny.
Pada 2014 Badan POM berhasil mengungkap penyalur bahan baku Carnophen ilegal di Jakarta. Selanjutnya pada 2015 Polri berhasil mengungkap salah satu pelaku terbesar produksi dan distribusi obat Carnophen di wilayah Kalimantan Selatan.
BPOM-Polri juga menemukan alat-alat produksi obat ilegal seperti mixer, mesin pencetak tablet, mesin penyalut/coating, mesin stripping dan mesin filling.
Selain itu, lanjut Penny, ditemukan juga bahan baku obat, produk ruahan, bahan kemasan, maupun produk jadi obat dan obat tradisional siap edar yang diperkirakan bernilai lebih dari Rp30 miliar.
Beberapa bahan juga ditemukan seperti zat mengandung Trihexyphenydyl dan Heximer yang merupakan obat antiparkinson. Bila digunakan secara berlebihan dapat menyebabkan ketergantungan dan mempengaruhi aktivitas mental dan perilaku yang cenderung negatif.
Temuan lain adalah obat analgetika/antinyeri Tramadol yang jika disalahgunakan dapat menimbulkan efek halusinasi.
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan POM No 7 tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Obat-Obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan, Trihexyphenydyl dan Tramadol termasuk dalam golongan Obat-Obat Tertentu (OOT) yang penyalahgunaannya dapat menyebabkan ketergantungan dan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
"Karena efek negatif itu, maka golongan OOT hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan," tuturnya.
Industri farmasi yang menggunakan bahan baku OOT hanya boleh untuk keperluan produksi sendiri dan tidak boleh dipindahtangankan bahan OOT tersebut kepada pihak lain, walaupun dalam satu grup. Kecuali ada izin khusus dari Kepala BPOM.
Carnophen dan Somadryl juga ditemukan dalam gudang tersebut. Kedua obat itu merupakan obat nyeri otot yang memiliki kandungan bahan aktif Carisoprodol, yang jika sering digunakan dapat menimbulkan efek halusinasi.
Karena itu, BPOM telah membatalkan izin edar obat yang hanya mengandung Carisoprodol sejak tahun 2013 melalui Keputusan Kepala Badan POM No.HK.04.1.35.06.13.3535 tentang Pembatalan Izin Edar Karisoprodol Tunggal.
Selain itu, BPOM dan Polri menemukan Dextrometorphan yang merupakan obat antitusif/obat batuk yang sering disalahgunakan karena dapat menimbulkan efek halusinasi. Dextromethorphan dalam bentuk sediaan tunggal juga sudah dilarang peredarannya oleh BPOM sejak tahun 2013.
"Selain obat, tim juga menemukan obat tradisonal merek Pale, African Black Ant, New Anrat, Gemuk Sehat dan Nangen Zengzhangsu dalam jumlah besar," kata Penny.
Produk tersebut, kata dia, merupakan produk tanpa izin edar atau mencantumkan nomor izin edar fiktif dan telah masuk dalam daftar "public warning" BPOM karena mengandung bahan kimia obat Sildenafil Sitrat yang disalahgunakan sebagai penambah stamina pria/obat kuat.
Modus pelaku kejahatan itu, dijelaskan, memproduksi obat yang sudah dibatalkan nomor izin edarnya. Setelah itu memalsukan obat yang telah memiliki izin edar serta mencampur bahan kimia obat dalam obat tradisional.
Tindakan memproduksi dan mendistribusikan produk ilegal, kata Penny, melanggar pasal 196 dan/atau pasal 197 Undang-undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp1,5 miliar. (TW)