Kendalikan Perkembangan Nyamuk AA Dengan Teknik Wolbachia
Penyakit demam berdarah denque (DBD) masih menjadi ancaman serius di Indonesia. Pengendalian DBD dengan teknologi Wolbachia yang dikembangkan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) diyakini dapat menekan perkembangan virus DBD dalam tubuh nyamuk aedes aegypti (AA).
"Pengembangan nyamuk ber-Wolbachia di dua kabupaten di Yogyakarta terbukti aman atau memiliki risiko yang dapat diabaikan," kata Ketua Tim Kajian Analisis Risiko Nyamuk Berwolbachia, Damayanti Buchori di Jakarta, Jumat (2/9).
Ditambahkan, pengendalian DBD dengan Wolbachia juga aman ditilik dari empat aspek yaitu ekonomi dan sosio-kultural, pengendalian vektor, ekologi, dan kesehatan masyarakat.
"Eliminate Dengue Project Yogya (EDP-Yogya) yang dimotori oleh Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) dan didanai Yayasan Tahija Indonesia kini tengah mengembangkan penelitian pengendalian DBD dengan menggunakan Aedes aegypti dengan Wolbachia," ujarnya.
Ditambahkan, nyamuk dengan wolbachia dalam tubuhnya mampu menghambat penularan virus dengue di dalam tubuh nyamuk. Sehingga tidak mampu menularkan virus dengue kepada manusia.
"Wolbachia adalah bakteri alami yang terdapat di 60 persen jenis serangga yang ada di bumi, termasuk kupu-kupu, lebah, dan lalat buah. Bakteri tersebut sayangnya tidak terdapat dalam nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah," ucapnya.
Setelah melewati dua fase penelitian, lima orang tim pakar independen yang terdiri dari ahli berbagai bidang dan 20 anggota tim pengkaji risiko lainnya melakukan kajian risiko sejak April 2016 dengan metodologi analisa statistik kualitatif.
"Kami analisa risiko negatifnya .Misalkan, apakah yang terjadi pada penggunaan nyamuk berwolbachia ini, apa yang akan terjadi, apa akan ada peningkatan resistensi insektisida," tuturnya.
Hasil akhir kajian menemukan peluang terjadinya dampak negatif pelepasan nyamuk dapat diabaikan (negligible), kecuali untuk komponen sosial ekonomi karena tim memasukkannya sebagai low risk.
"Hasil riset lapangan ada kegelisahan penduduk, konflik yang terjadi, dan dari faktor sosial ekonomi budaya harus hati-hati. Selain ada konflik masyarakat, ada pula efek negatif media, ada klas action, sehingga kami meletakkan low risk di sosial," katanya.
Namun, menurut Damayanti, teknologi selalu mengandung risiko. Pemanfaatan sains juga terkadang dibatasi pengetahuan manusia itu sendiri. Namun sejauh ini 25 tim analisa telah memperhitungkan seluruhnya.
"Namun kemampuan manusia ada batasnya. Bisa saja terjadi masalah kemudian hari, sehingga membuat analisa dari komponen-komponen tadi berubah," tuturnya. (TW)