Pendidikan Dokter Layanan Primer, Pemborosan Anggaran Negara
Rencana pemerintah membuka program pendidikan dokter layanan primer (DLP), guna menguatkan pemberian layanan kesehatan dasar, dinilai organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai tindakan pemborosan uang negara. Pasalnya, kompetensi DLP tak ada bedanya dengan dokter umum.
"Buat apa sekolah lagi selama 3 tahun untuk menjadi DLP, jika kompetensinya sama dengan dokter umum. Rencana pemerintah itu tidak realistis, efisien dan pemborosan anggaran negara," kata wakil Ketua Umum PB IDI, Daeng M Fakih saat menghadap Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Toto Dariyanto, di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Selasa (27/9).
Daeng M Fakih menjelaskan, istilah DLP sendiri telah menimbulkan kontroversi di kalangan dokter di Indonedia. Mengingat istilah tersebut selama ini tidak pernah digunakan oleh otoritas kesehatan di negara mana pun.
"Layanan primer adalah wilayah pelayanan. Karena itu, tidak ada satu pun negara yang menyebut dokter yang bekerja di layanan primer dengan gelar profesi khusus DLP, seperti halnya di Indonesia," ujarnya.
Dokter layanan primer adalah komunitas dokter yang memberi layanan kesehatan dasar di masyarakat yang terdiri dari berbagai bidang ilmu seperti dokter umum, dokter keluarga, dokter spesialis, dokter anak, dokter penyakit dalam dan dokter gigi.
"Penggunaan istilah DLP juga akan menimbulkan konflik horizontal antar dokter di layanan primer dan berpotensi mengkriminalisasikan dokter umum yang menangani pasien program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)," tuturnya.
Untuk itu, Daeng menilai, upaya pertama yang harus dilakukan adalah menghapus istilah DLP sebagai satu jenis profesi baru kedokteran seperti termaktub dalam Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
Menurut Daeang, keberadaan UU No 20 tahun 2013 ini sebenarnya tumpang tindih dengan 3 UU lainnya seperti UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan," ujarnya.
"UU No 20 Tahun 2013 menyebabkan tumpang tindihnya peran dan kewenangan kelembagaan antara Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Kesehatan, organisasi profesi mulai dari IDI, kolegium dan Konsil Kedokteran Indonesia," ucapnya.
Hal lain yang tak kalah penting, menurut Daeng M Fakih, tidak ada perbedaan signifikan antara kompetensi DLP dengan kompetensi dokter umum sebagaimana termuat dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2013 yang disahkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
"Kurikulum, standar pendidikan dan gelar DLP belum memiliki kejelasan dan landasan formal, baik pada Peraturan Pemerintah (PP)-nya, pengesahan kurikulum oleh KKI, peraturan menteri serta belum ada kolegium DLP yang disahkan oleh IDI," tuturnya.
Ditambahkan, simulasi pelaksanaan program DLP memerlukan waktu 30-50 tahun untuk men-DLP-kan dokter ukum yang akan bekerja di layanan primer. Jumlah itu belum termasuk 8.000 lulusan dokter baru yang terus dihasilkan setiap tahunnya.
"Dengan demikian, program pendidikan DLP yang digagas pemerintah menjadi tidak realistik, tidak efisien dan hanya memboroskan uang negara. Karena program ini bakal sulit dan lama diterapkan," ujarnya.
Ditambahkan, UU No 20 tahun 2013 juga mengabaikan program pendidikan kedokteran berkelanjutan (P2KB) yang penting untuk meningkatkan kompetensi dokter, sebagaimana diamanatkan dalam UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Dalam pertemuan itu, PB IDI mengusulkan sekaligus menyerahkan RUU Perubahan atas UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Diharapkan, RUU tersebut masuk dalam pembahasan Prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016. (TW)