Atasi Defisit, Kemkes Diminta Optimalkan Sejumlah Regulasi
Dukungan regulasi dari pemangku kepentingan terkait untuk mengatasi defisit program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sangat diperlukan. Kementerian Kesehatan (Kemkes), misalnya, perlu mengoptimalkan sejumlah regulasi untuk mendukung strategi bauran kebijakan yang telah disepakati bersama lintas kementerian dan BPJS Kesehatan (BPJSK) untuk mengurangi beban pembiayaan JKN.
Kepala Humas BPJSK, Muhammad Iqbal Ma'aruf menyebutkan, ada beberapa aturan yang perlu dilakukan penyesuaian oleh Kemkes untuk mendukung keberlanjutan pembiayaan program JKN-KIS. Di antaranya, aturan yang mengatur soal penyesuaian kelas rumah sakit (RS), optimalisasi pencegahan fraud (Permenkes 36/ 2015), izin praktik dokter, implementasi iur biaya (cost sharing), implementasi tentang koordinasi manfaat untuk jaminan sosial terkait kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja dan kecelakaan lalu lintas, dan lain-lain. Jika aturan-aturan ini tidak dilakukan penyesuaian, maka potensi defisit akan terus terjadi.
“Kami mendorong beberapa regulasi harus ditindaklanjuti oleh Kemkes, karena ini juga bagian dari rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),” kata Iqbal kepada Beritasatu.com, Senin (17/6).
Menurut Iqbal, BPJSK telah melakukan pertemuan dengan Kemkes di Kantor Kemkes, Jumat (14/6), untuk membahas penyesuaian regulasi tersebut. Tujuan penyesuaian regulasi ini mendukung strategi bauran kebijakan yang telah disepakati bersama 9 menteri, BPJSK, dan kepala daerah untuk mengatasi masalah defisit yang dihadapi BPJSK.
Secara teknis, regulasi yang dibutuhkan saat ini untuk mengurangi beban pembiayaan Program JKN-KIS adalah bagaimana mengoptimalkan dana kapitasi untuk puskesmas. Hasil audit BPKP terhadap BPJSK dan seluruh fasilitas kesehatan di 34 provinsi tahun 2019 menemukan sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) dana kapitasi di puskesmas mencapai Rp 2,5 triliun. Dana ini mengendap di rekening pemerintah daerah.
Kapitasi adalah sejumlah dana yang ditransfer BPJSK kepada puskesmas setiap bulan dengan nominal sesuai jumlah peserta yang tertanggung. Di sejumlah puskesmas, penggunaan dana ini tidak optimal.
Secara aturan, dana kapitasi yang sudah ditransfer ke puskesmas merupakan hak puskesmas dan tidak bisa ditarik kembali. Akan tetapi, melihat kondisi BPJSK yang terus defisit bahkan kekurangan biaya, maka silpa tersebut sangatlah mubazir. Karenanya, menurut Iqbal, silpa sebesar Rp 2,5 triliun bukanlah jumlah yang kecil, sehingga perlu dibuatkan payung hukum untuk mengoptimalkan anggaran tersebut.
"BPJSK tidak bisa apa-apa karena tidak ada payung hukumnya. Contohnya, kapitasi untuk bulan berikutnya apakah dikurangi bagi puskesmas yang masih ada silpanya. Semua ini butuh payung hukum,” kata Iqbal.
Penyesuaian Kelas
Aturan lain yang mendesak untuk dioptimalkan adalah soal penyesuaian kelas RS. Sebab, kelas RS yang tidak sesuai juga turut berkontribusi terjadinya defisit. Ini terbukti dari temuan BPKP yang menunjukkan, terjadi inefisiensi pembayaran klaim layanan di RS sebesar Rp 819 miliar. Ini terjadi karena kontrak antara RS dan BPJSK menggunakan tarif untuk kelas RS yang lebih tinggi. BPJS Watch mencatat klaim layanan ini ada di 94 RS yang tersebar di sekitar 14 provinsi.
Menurut Iqbal, Permenkes 99/2015 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN hanya mengatur bahwa proses kredensialing dan rekredensialing (kredensialing ulang) untuk RS yang bekerja sama BPJSK dilakukan bersama-sama BPJSK dengan dinas kesehatan (dinkes) dan Kemkes. Namun, aturan ini tidak secara detail mengatur soal bagaimana jika dalam proses rekredensialing ditemukan adanya RS yang tidak lagi memenuhi syarat kompetensi sesuai kondisi awalnya.
Tidak adanya payung hukum ini membuat BPJSK harus membayar untuk klaim layanan di RS dengan kelas dan biaya lebih tinggi, misalnya tipe B dan A. Padahal seharusnya layanan tersebut bisa dilakukan di RS dengan kelas dan biaya lebih rendah, misalnya tipe C dan D. Selisih biaya layanan antar kelas RS ini sekitar 30% lebih.
Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan, klaim RS dengan kelas lebih tinggi ini turut memicu defisit. Untuk diketahui, hasil audit BPKP menunjukkan beban biaya manfaat atau klaim pelayanan di RS dan fasilitas kesehatan tingkat pertama (kapitasi) tahun 2018 jauh lebih besar dari target.
Biaya klaim manfaat mencapai Rp 98,4 triliun, sedangkan dalam rencana kerja anggaran tahunan (RKAT) 2018 diproyeksikan hanya sebesar Rp 87,33 triliun, atau ada selisih sebesar Rp 11 triliun. Temuan ini menunjukkan bahwa upaya pengendalian biaya manfaat harus segera dibenahi.