60 Persen Rumah Sakit Siap Jalankan Sistem JKN
Meski pemerintah terus menggenjot persiapan pelaksanaan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan dimulai Januari 2014, tetapi masih ada beberapa permasalahan yang menghadang. Terutama mengenai kesiapan rumah sakit.
Menurut Ketua Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSSI), Sutoto Cokro, permasalahan terutama terjadi pada rumah sakit yang belum mampu melaksanakan kendali mutu dan biaya dengan baik.
"Apalagi awalnya kita berharap premi bisa Rp. 22.300. Rumah sakit yang tidak mampu melakukan kendali mutu dan biaya tentu akan rugi. Hal ini sepenuhnya permasalahan internal rumah sakit," kata Sutoto ketika dihubungi Kompas.com pada Senin (12/8) di Jakarta.
Kendati begitu, Sutoto optimis pelaksananaan JKN bisa berlangsung dengan baik. Ia mengatakan permasalahan demikian biasa terjadi di negara yang baru melaksanakan jaminan sosial.
Sampai saat ini menurut Sutoto, sekitar 1.100 rumah sakit seluruh Indonesia siap melaksanakan JKN 2014. Angka tersebut sama dengan jumlah rumah sakit yang mengikuti program Jamkesmas. "Angka tersebut setara 60 persen jumlah rumah sakit seluruh Indonesia. Angka tersebut tentu sudah bagus, apalagi mungkin baru 60-70 persen warga Indonesia yang menjadi peserta JKN pada Januari 2014," kata Sutoto.
Kendati begitu, Sutoto tak menampik ada dua permasalahan yang harus cepat diselesaikan. Masalah tersebut mencakup distribusi tempat tidur dan dokter spesialis. Dari dua masalah tersebut, Sutoto menilai, ketersediaan dokter spesialis menjadi poin utama.
Dokter spesialis berada di tingkat pelayanan sekunder, yakni rumah sakit daerah dan tersier atau rumah sakit provinsi dan nasional. Dalam JKN 2014 pasien akan mendapatkan pelayanan sekunder atau tertier, bila pelayanan di tingkat primer tidak mampu melakukannya.
Tanpa menyebut jumlah, Sutoto menilai jumlah dokter spesialis yang terdapat di Indonesia masih sangat kecil. "Untuk rumah sakit tipe D minimal ada 4 spesialis, yaitu penyakit dalam, anak, bedah, dan kebidanan. Pos-pos inilah yang rentan diduduki tenaga kerja asing. Padahal kualitas dokter asing tersebut belum tentu lebih baik dibanding dalam negeri," kata Sutoto.
Sutoto berharap, pemerintah bisa membuka peluang lebih lebar untuk produksi dokter spesialis. Salah satunya dengan membuka kesempatan perguruan tinggi swasta ikut 'memproduksi' dokter spesialis. Menurut Sutoto, asal aturan dan kurikulum jelas hal tersebut bukan masalah.
Sedangkan terkait distribusi tempat tidur, Sutoto berharap, pemerintah bisa membuka kesempatan bagi swasta. "Terutama untuk daerah terpencil dan padat penduduk. Apalagi bila kita akan menggunakan aturan WHO, satu tempat tidur untuk 1.000 populasi," ujarnya.
Hal senada dikatakan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Akmal Taher. Saat ini dibutuhkan sekitar 170 ribu tempat tidur, dengan kelas tiga sebanyak 65 ribu.
"Sekarang kita tunggu dulu hasil pendataan puskesmas untuk jumlah tempat tidur. Sedangkan untuk dokter spesialis, kita konsentrasi dulu pada dokter umum untuk layanan primer," kata Akmal.
sumber: health.kompas.com