Dianggap Penyakit, Bunuh Diri Harusnya Masuk SJSN
Tindakan bunuh diri seharusnya masuk dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) karena bisa dikatakan salah satu jenis penyakit yang berkaitan dengan kejiwaan seseorang.
"Kan pertanyaannya ada tidak orang sehat yang mau bunuh diri, misalnya dia merasa capek hidup lalu bunuh diri, orang yang seperti itu (berniat bunuh diri) kan artinya orangnya 'sakit'," kataWakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Muktiusai acara peluncuran kampanye kesadaran publik 'Lighting the Hope for Schizophrenia' yang diadakan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) bersama Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) dan Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Ketergantungan Obat Indonesia (ARSAWAKOI) di Jakarta, Selasa (30/7).
Lalu siapa yang dijaminkan, kalau penderitanya saja sudah meninggal?
Wamen menjawab, bahkan ketika meninggal saja orang masih membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
"Apa kalau sudah meninggal dikira semuanya gratis? Meskipun sudah meninggal biaya yang dibutuhkan masih sangat banyak. Misalnya biaya otopsi, biaya ambulance, dan masih banyak lainnya. Orang meninggal itu biayanya masih banyak," bebernya menjelaskan.
Ali Ghufron mengakui, saat ini bunuh diri memang belum masuk dalam SJSN.
Sebaliknya ditegaskan Wamen, penyakit gangguan jiwa berat seperti skizofrenia sudah masuk dalam sistem ini.
"Meskipun di negara-negara maju, skizofrenia itu di luar ya, tidak masuk (SJSN), namun di negara kita, ini masuk (SJSN)," ujarnya.
Dalam kesempatan sama, Direktur Bina Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan RI, Diah Setia Utami membenarkan hal itu.
"Gangguan jiwa sudah dimasukkan dan dijamin di dalam SJSN. Jadi, penderita bisa terlayani dengan lebih baik," jelasnya.
Karenanya, penderita gangguan jiwa berat harus mendapat pelayanan yang baik sama seperti penyakit lainnya baik di layanan primer, sekunder maupun tersier.
"Primer itu puskesmas, sekunder itu rumah sakit umum, dan tersier itu rumah sakit jiwa," beber Diah.
Misalnya, untuk penanganan di puskesmas, Diah menjelaskan, Kemenkes sudah menerapkan pelatihan kepada para petugas kesehatan, baik dokter maupun perawat untuk siap dan berani menangani penderita gangguan jiwa, termasuk kondisi gawat darurat.
"Mereka sudah dilatih dalam waktu lima hari, bagaimana penanganan dan tanggap darurat terhadap kondisi-kondisi tersebut," jelasnya lagi.
Sementara kampanye 'Lighting the Hopefor Schizophrenia' dicanangkan sebagai reaksi kian peliknya permasalahan jiwa di Indonesia yang berkontribusi terhadap penurunan produktivitas bangsa. Kesehatan jiwa termasuk salah satu permasalahan serius karena selain dapat mengurangi produktivitas, ini juga bisa menimbulkan beban jangka panjang bagi masyarakat.
"Dengan kampanye ini diharapkan menjadi harapan baru bagi penderita skizofrenia untuk kembali produktif dalam masyarakat dan tak ada lagi stigma negatif yang melekat padanya maupun keluarganya," ujar Ketua PDSKJI, Dr. Tun Bastaman SpKJ. [mor]
sumber: gayahidup.inilah.com